Mochtar Lubis

Mochtar Lubis

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Mochtar Lubis (dilahirkan tanggal 7 Maret 1922 di Padang, meninggal tanggal 2 Juli 2004 di Jakarta) adalah seorang jurnalis dan pengarang ternama asal Indonesia. Sejak zaman pendudukan Jepang ia telah dalam lapangan penerangan. Ia turut mendirikan Kantor Berita ANTARA, kemudian mendirikan dan memimpin harian Indonesia Raya yang telah dilarang terbit. Ia mendirikan majalah sastra Horizon bersama-sama kawan-kawannya. Pada waktu pemerintahan rezim Soekarno, ia dijebloskan ke dalam penjara hampir sembilan tahun lamanya dan baru dibebaskan pada tahun 1966. Pemikirannya selama di penjara, ia tuangkan dalam buku Catatan Subversif (1980).

Pernah menjadi Presiden Press Foundation of Asia, anggota Dewan Pimpinan International Association for Cultural Freedom (organisasi CIA), dan anggota Federation Mondial pour le Etudes sur le Futur.

Novelnya, Jalan Tak Ada Ujung (1952 diingriskan A.H. John menjadi A road with no end, London, 1968), mendapat Hadiah Sastra BMKN 1952; cerpennya Musim Gugur menggondol hadiah majalah Kisah tahun 1953; kumpulan cerpennya Perempuan (1956) mendapatkan Hadiah Sastra Nasional BMKN 1955-1956; novelnya, Harimau! Harimau! (1975), meraih hadiah Yayasan Buku Utama Departeman P & K; dan novelnya Maut dan Cinta (1977) meraih Hadiah Sastra Yayasan Jaya Raya tahun 1979. Selain itu, Mochtar juga menerima Anugerah Sastra Chairil Anwar (1992).

Bibliografi

  • Tidak Ada Esok (novel, 1951)
  • Si Jamal dan Cerita-Cerita Lain (kumpulan cerpen, 1950)
  • Teknik Mengarang (1951)
  • Teknik Menulis Skenario Film (1952)
  • Harta Karun (cerita anak, 1964)
  • Tanah Gersang (novel, 1966)
  • Senja di Jakarta (novel, 1970; diinggriskan Claire Holt dengan judul Twilight in Jakarta, 1963)
  • Judar Bersaudara (cerita anak, 1971)
  • Penyamun dalam Rimba (cerita anak, 1972)
  • Manusia Indonesia (1977)
  • Berkelana dalam Rimba (cerita anak, 1980)
  • Kuli Kontrak (kumpulan cerpen, 1982)
  • Bromocorah (kumpulan cerpen, 1983)

Karya jurnalistiknya:

  • Perlawatan ke Amerika Serikat (1951)
  • Perkenalan di Asia Tenggara (1951)
  • Catatan Korea (1951)
  • Indonesia di Mata Dunia (1955)

Mochtar Lubis juga menjadi editor:

  • Pelangi: 70 Tahun Sutan Takdir Alisyahbana (1979)
  • Bunga Rampai Korupsi (bersama James C. Scott, 1984)
  • Hati Nurani Melawan Kezaliman: Surat-Surat Bung Hatta kepada Presiden Soekarno (1986)

Terjemahannya:

  • Tiga Cerita dari Negeri Dollar (kumpulan cerpen, John Steinbeck, Upton Sinclair, dan John Russel, 1950)
  • Orang Kaya (novel F. Scott Fitgerald, 1950)
  • Yakin (karya Irwin Shaw, 1950)
  • Kisah-kisah dari Eropa (kumpulan cerpen, 1952)
  • Cerita dari Tiongkok (terjemahan bersama Beb Vuyk dan S. Mundingsari, 1953)

Studi mengenai Mochtar Lubis:

  • M.S. Hutagalung, Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis (1963)
  • Henri Chambert-Loir, Mochtar Lubis, une vision del'Indesie Contemporaine (disertasi, Paris, 1974)
  • David T. Hill, Mochtar Lubis: Author, Editor, and Political Actor (disertasi, Canberra, 1989)

Mochtar Lubis Meluruskan Sejarah (Kompas)

Kompas, Kamis, 20 Oktober 1994

Mochtar Lubis tentang Aduan Sukmawati Soekarnoputri
"Saya Siap untuk Meluruskan Sejarah"

Jakarta, Kompas

"Saya siap ke pengadilan. Sudah terlalu banyak bagian dari sejarah negeri kita yang dipalsukan, dan perlu diluruskan," demikian komentar Mochtar Lubis (72) yang disampaikan kepada Kompas Rabu malam (19/10), ketika diminta tanggapannya mengenai diadukannya dirinya ke polisi oleh Sukmawati Soekarnoputri (43). Rabu siang Kepala Kepolisian RI Jenderal (Pol) Banurusman mengungkapkan, Sukmawati Soekarnoputri datang menemuinya di Markas Besar Kepolisian untuk mengadukan dan melaporkan Mochtar Lubis yang dinilainya telah menghina keluarga besar Bung Karno (1901-1970) melalui wawancara di sebuah majalah.

Mochtar Lubis, budayawan dan mantan Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya, menegaskan bahwa ia siap dipanggil polisi untuk menjelaskan kepalsuan sejarah Indonesia.

Majalah Sinar terbitan 3 Oktober 1994 lalu memuat wawancara dengan Mochtar Lubis, berjudul Kalau Saya Militer, Bung Karno Saya Penjarakan. Dalam wawancara itu, Mochtar Lubis antara lain menegaskan tentang keterlibatan Presiden pertama RI (1945-1967) Soekarno dalam G30S/PKI. Mochtar juga menanggapi buku yang ditulis Manai Sophiaan (80).

Datang langsung

Kapolri Banurusman membenarkan bahwa Sukmawati Soekarnoputri telah datang menemuinya langsung di Markas Besar Polri. Kedatangan Sukmawati itu untuk mengadukan Mochtar Lubis, yang dalam wawancara dengan Majalah Sinar, dinilai telah menghina keluarga Bung Karno. Soekmawati adalah anak ke-4 Dr Ir Soekarno dari perkawinannya dengan Ny. Fatmawati (1923-1980). "Sukmawati memang datang menemui saya di Mabes Polri pekan lalu, membawa surat pengaduan," kata Kapolri Jenderal (Pol) Banurusman menjawab wartawan seusai menghadiri acara di Wisma Bhayangkari, Jakarta Selatan, Rabu. Menurut Kapolri, ia sudah menawarkan kepada Sukmawati yang mewakili keluarga Bung Karno untuk mengubah surat pengaduan menjadi laporan resmi. Hal ini diperlukan untuk menyesuaikan dengan format umum laporan polisi.

Kapolri Banurusman menambahkan, Mochtar Lubis akan dipanggil setelah pembuktian-pembuktiannya dilengkapi, termasuk keterangan saksi. Ini berarti semua pihak yang berkaitan dengan kasus ini, termasuk Penanggung Jawab/Pemimpin Redaksi Majalah Sinar akan dimintai keterangannya oleh Polri.

Penghinaan

Dalam surat pengaduan yang ditujukan kepada Kapolri tertanggal 13 Oktober 1994, Sukmawati Soekarnoputri, artis, penulis dan politisi yang beralamat di Jl Cempaka Putih Timur IV No 19, Jakarta Pusat, disebutkan bahwa wawancara tersebut dimuat dalam Majalah Sinar No 53 Tahun II/3 Oktober 1994. "Dalam wawancara itu Mochtar Lubis menyatakan (1) Soekarno memang terlibat dalam peristiwa G-30-S, (2) Soekarno itu bodoh dan sesat, (3) Itu dosa-dosa Soekarno kepada Republik Indonesia, (4) Apa yang dilakukan Soekarno dengan PKI itu suatu pengkhianatan besar kepada UUD RI," demikian sebagian isi laporan Sukma.

Selanjutnya dikatakan, "Hal-hal itulah yang menyebabkan saya dan keluarga Bung Karno merasa bahwa Mochtar Lubis telah melakukan penghinaan kepada Proklamator/Presiden pertama RI Dr Ir Soekarno, dan mencemarkan nama baik bapak saya Dr Ir Soekarno. Saya dan keluarga Bung Karno merasa sangat terhina dengan pernyataan penghinaan besar, dari Mochtar Lubis." Pada akhir isi suratnya, Sukmawati minta kepada Polri untuk mengusut dan menuntut Mochtar Lubis ke pengadilan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Surat dengan tembusan kepada Presiden, Wapres, Jaksa Agung dan 13 orang lainnya itu diterima langsung oleh Kapolri Banurusman. Kadispen Polri Brigjen (Pol) Drs I Ketut Ratta yang dihubungi terpisah kemarin mengatakan, kasus-kasus pencemaran nama biak/penghinaan yang berkaitan dengan masalah politik tampaknya mulai marak. "Masa dua tahun menjelang Pemilu 1997, bukan waktu yang panjang bagi politisi untuk mengangkat masalah-masalah politik ke permukaan. Polri sudah mengantisipasi adanya kasus-kasus semacam ini," kata Ratta.


Lubis Tak Cuma Menggertak (Gatra)

Majalah Berita Mingguan GATRA
Edisi : 9 September 1995 ( No.43/ I )
Rubrik : Nasional

MAGSAYSAY

Lubis Tak Cuma Menggertak

Mochtar Lubis mengembalikan Hadiah Magsaysay. Kasus Pramoedya
didukung di Jakarta, ditentang di Filipina.

ANCAMAN budayawan dan sastrawan Mochtar Lubis untuk mengembalikan
Hadiah Magsaysay yang diterimanya tahun 1958 tak cuma gertak
sambal. Dalam suasana serba salah di kantor pusat Yayasan Ramon
Magsaysay di Manila, Filipina, Rabu pekan lalu, Ketua Yayasan
Ramon Magsaysay, Bienvenido A. Tan, menerima pengembalian itu.

Mochtar tampak tersenyum lebar ketika memulangkan medali
bergambar almarhum Presiden Ramon Magsaysay yang sekitar 37 tahun
disimpannya. Pada kesempatan yang sama, Mochtar menyerahkan pula
US$ 1.000, sebagai angsuran pertama US$ 5.000, hadiah uang yang
pernah diterimanya dari Yayasan Magsaysay. Sisanya akan
dibayarnya bertahap.

Bienvenido menerima semua pengembalian itu dengan senyum tertahan
dan pandangan kecewa. Mochtar tampaknya mengerti bagaimana
perasaan Bienvenido. Maka dengan mencoba tetap tersenyum ramah,
ia mengucapkan sambutan singkat yang menghibur di hadapan sekitar
40 hadirin, belum termasuk wartawan. “Saya mengembalikan
penghargaan ini dengan berat hati, karena saya sangat menghargai
dan menghormati Presiden Ramon Magsaysay. Tapi justru karena
menghargai dan mencintai beliau saya merasa berkewajiban
mengembalikan penghargaan ini,” begitu ujar Mochtar seperti
dikutip Manila Bulletin, 31 Agustus silam. Bienvenido menjawab,
“Kami juga tak ingin melakukan semua ini. Apa yang terjadi di
antara kita semata-mata hanyalah perbedaan pendapat,” tutur
Bienvenido.

Itulah puncak drama seniman yang dalam beberapa minggu terakhir
menjadi bahan perdebatan. Seperti diberitakan media massa, Juli
silam, Yayasan Magsaysay mengumumkan akan memberikan Hadiah
Magsaysay kepada empat tokoh Asia. Satu di antaranya Pramoedya
Ananta Toer, bekas tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang
dibentuk Partai Komunis Indonesia (PKI) di zaman Orde Lama.

Yayasan Magsaysay menyebut Pramoedya sebagai sastrawan dan
wartawan yang tak henti-hentinya membuahkan karya yang
berkualitas. Perburuan, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Nyanyi
Sunyi Seorang Bisu, dan sejumlah karya Pram lainnya, menurut
Yayasan Magsaysay, menunjukkan konsistensi dan keprihatinannya
yang mendalam terhadap penderitaan manusia di tengah perang,
pergolakan, dan kemiskinan yang parah.

Mendengar pengumuman Yayasan Magsaysay tersebut, permulaan
Agustus lalu, tak kurang dari 26 seniman dan budayawan terkemuka
Indonesia mengeluarkan pernyataan keras. Mereka antara lain H.B.
Jassin, Wiratmo Soekito, Taufiq Ismail, D.S. Moeljanto, Bokor
Hutasuhut, dan Mochtar Lubis.

Isi pernyataan itu memang tak secara ekplisit mendesak Yayasan
Magsaysay untuk membatalkan keputusan memberi hadiah kepada Pram.
Mereka hanya mendakwa yayasan telah melupakan peran tak terpuji
Pram di zaman Demokrasi Tepimpin pada tahun 1960-an, tatkala
tokoh Lekra ini terlibat memasung gerakan untuk memperjuangkan
kebebasan kreatif. Umpamanya Pram mengelu-elukan pembakaran buku
karya lawan-lawannya di Jakarta dan Surabaya. “Rasanya sangat
ironis bila dengan keputusan tersebut Pramoedya duduk sebangku
dengan pemenang Magsaysay Mochtar Lubis dan H.B. Jassin,”
demikian sebagian bunyi pernyataan itu.

Tak lupa mereka menjelaskan sosok Mochtar sebagai pejuang
kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia tulen. Begitu pula
H.B. Jassin. Di akhir pernyataan itu mereka menilai, dengan
memberikan hadiah kepada Pram, Yayasan Magsaysay mendukung tindak
penindasan kebebasan kreatif. Mochtar sendiri meluncurkan
ancaman. “Jika hadiah itu tetap diberikan kepada Pram, saya akan
mengembalikan Hadiah Magsaysay yang pernah saya terima,” katanya.

Pada akhirnya keputusan Yayasan Magsaysay tak berubah, meski
mengaku memahami ketidakpuasan 26 seniman Indonesia. “Kami tahu
Pramoedya adalah seniman Lekra, tapi ia sudah membayar mahal
dengan mendekam 15 tahun di Pulau Buru. Tapi alasan utama mengapa
kami memberikan hadiah kepada Pram adalah karena melihat kualitas
karya-karyanya,” demikian kata Bienvenido ketika dihubungi lewat
telepon oleh Akmal Nasery dari Gatra

Kamis pekan lalu _ sehari setelah Mochtar mengembalikan hadiahnya
_ istri Pram, Maemunah Thamrin, mewakili suaminya untuk menerima
medali dan uang US$ 50.000 (lebih dari Rp 100 juta) dari Yayasan
Magsaysay. Acara penyerahan itu berlangsung di gedung Pusat
Kebudayaan Filipina, Manila, disaksikan sekitar 500 hadirin.
Pram
sendiri tak bisa hadir karena tak memperoleh paspor.

Di Jakarta, peristiwa pemberian hadiah untuk Pram itu mendapat
dukungan lebih dari 150 orang dari berbagai profesi, antara lain
Bintang Pamungkas, Sukmawati Soekarnoputeri, Marianne Katoppo,
Ariel Heryanto, dan Nirwan Dewanto. Nama lainnya kurang dikenal,
mungkin terdiri dari anak muda yang lahir setelah tahun 1965.
Tanggal 30 Agustus _ persis ketika Mochtar mengembalikan
hadiahnya _ mereka membuat pernyataan mendukung Pram. Alasannya,
antara lain, karya Pram telah memperkaya kehidupan intelektual
dan kebudayaan Indonesia.

Tapi sebaliknya di Filipina, sejumlah penulis dan budayawan
setempat, justru mengecam keputusan Yayasan Magsaysay. Misalnya
F. Sionil Jose (penulis) dan Belen Abreu (bekas komisaris
eksekutif Yaysan Magsaysay). Jose yang pernah berada di Indonesia
pada tahun 1960-an mengaku tahu persis latar belakang Pramoedya.
“Ia bertanggung jawab atas dipenjarakannya penulis-penulis
Indonesia yang bertentangan dengannya,” kata Jose, yang
diwawancarai wartawan Filipina.

(Priyono B. Sumbogo dan Akmal Nasery Basral)

Jenazah Mochtar Lubis Telah Dimakamkan (KCM)

Kompas Cyber Media
Updated: Sabtu, 03 Juli 2004, 14:28 WIB

Jenazah Mochtar Lubis Telah Dimakamkan
Jakarta, Sabtu


Jenazah wartawan senior dan budayawan Mochtar Lubis, Sabtu (3/7) siang
dimakamkan di TPU Jeruk Purut, Jakarta Selatan. Pusara Mochtar terletak di
samping makam istrinya, Siti Halimah, yang meninggal pada 27 Agustus 2001.

Mochtar meninggal pada Jumat (2/7), pukul 19.00 WIB, di Rumah Sakit Medistra,
Jakarta Selatan, karena penyakit paru-paru.
Mochtar meninggalkan tiga anak,
dua lelaki dan satu perempuan.

Dalam prosesi pemakaman yang dihadiri ratusan kerabat dan handai taulan itu,
jenazah dimasukkan ke liang lahat tepat pukul 13.00 WIB. Tampak di antara para
pelayat Ketua PWI Pusat Tarman Azzam, para wartawan senior Aristides Katoppo
dan Rosihan Anwar, Des Alwi, sastrawan Ramadhan KH, pengacara senior Adnan
Buyung Nasution, dan beberapa wartawan senior lainnya. Mereka menabur bunga di
pusara almarhum.

Sementara itu, di sekeliling pusara Mochtar ada karangan-karangan bunga tanda
turut berduka cita dari antara lain Presiden Megawati Soekarnoputri, Taufik
Kiemas, Adnan Buyung Nasution, dan Kepala BIN Hendropriyono.

Puluhan wartawan media cetak dan elektronik turut meliput prosesi pemakaman
tersebut.

Mochtar lahir di Padang, Sumatera Barat, 7 Maret 1922. Ia si nomor enam dari
10 bersaudara. Ayahnya, Raja Pandapotan Lubis, pegawai Pangreh Praja atau
Binnenlands Bestuur (BB) pemerintah kolonial Hindia Belanda, yang ketika
pensiun pada pertengahan 1930-an menjabat sebagai Demang atau Kepala Daerah
Kerinci.

Mochtar tamat sekolah dasar berbahasa Belanda, HIS, di Sungai Penuh. Kemudian,
ia melanjutkan studinya di sekolah ekonomi partikelir di Kayutanam. Pendidikan
formalnya tidak sampai pada taraf AMS atau HBS.

Sebelum hijrah ke Jakarta, Mochtar sempat menjadi sempat menjadi guru sekolah
di Pulau Nias, Sumatera Utara. Ia mengawali karier kewartawanannya dengan
menjadi Redaktur Radio Militer. Pada 1945 ia bekerja sebagai wartawan di LKBN
ANTARA, lalu pindah ke Harian Merdeka.

Almarhum juga pernah menjadi pemimpin redaksi di sejumlah penerbitan seperti
majalah Mutiara, harian Indonesia Raya, dan majalah sastra Horison. Ia pernah
pula menjadi Direktur Yayasan Obor Indonesia, yang banyak menerbitkan buku
sosial, sastra, dan budaya.

Sejumlah penghargaan telah diperolehnya. Antara lain, Ramon Magsaysay dari
Filipina (1974) dan Pena Emas dari World Paper, sebuah wadah pemimpin redaksi
sedunia. Ia juga telah menerima sejumlah hadiah sastra dari Badan Musyawarah
Kebudayaan Nasional untuk sejumlah karyanya.

Bersama sejumlah sastrawan lain Angkatan 66, seperti Taufik Ismail, Mochtar
turut berperan dalam melawan para sastrawan kiri yang tergabung dalam Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra) dengan tokohnya Pramudya Ananta Toer.

Selain Harimau-Harimau, beberapa novel karya Mochtar yang terkenal adalah
Senja di Jakarta, Jalan Tak Ada Ujung, Berkelana dalam Rimba, dan Maut dan
Cinta. (Ant/Ati)

http://www.kompas.co.id/gayahidup/news/0407/03/143503.htm

Biografi Mochtar Lubis (Figur Publik)

Biodata

Nama :
Mochtar Lubis

Tempat/Tgl. Lahir :
Padang, 7 Maret 1922

Agama : Islam

Isteri:
Halimah, 77 tahun, tutup usia pada 27 Agustus 2001

Karir :
* Sastrawan
* Wartawan KBN Antara
* Pemred Harian Indonesia Raya
* Pendiri majalah sastra Horison
* Direktur Yayasan Obor Indonesia

Pendidikan :
* HIS di Sungai Penuh

* Organisasi :
* Press Foundation of Asia

Penghargaan :
* Magsaysay Award untuk jurnalistik dan kesusastraan

Novel :
* Harimau, Harimau!, Senja di Jakarta, Jalan Tak Ada Ujung, Berkelana Dalam Rimba.

* Alamat : Jakarta

Mochtar Lubis,
Pahlawan di Pentas Jurnalistik

Pemred mantan Harian Indonesia Raya ini pernah dipenjara karena karya-karya jurnalistiknya. Wartawan senior ini lahir di Padang, Sumatera Barat, 7 Maret 1922. Setelah tamat sekolah dasar berbahasa Belanda HIS di Sungai Penuh, dia melanjutkan pelajaran di sekolah ekonomi partikelir di Kayutanam. Pendidikan formalnya tidak sampai pada taraf AMS atau HBS.

Namun, putera Pandapotan Lubis, pegawai Pangreh Praja atau binnenlands bestuur (BB) pemerintah kolonial Hindia Belanda yang ketika pensiun pertengahan 1930-an menjabat sebagai Demang atau Kepala Daerah Kerinci, ini sempat menjadi guru sekolah di Pulau Nias, sebelum datang ke Jakarta. Ia memang seorang otodidak tulen.

Pada zaman Jepang, ia bekerja sebagai anggota tim yang memonitor siaran radio Sekutu di luar negeri. Berita yang didengar lalu dituliskan dalam laporan untuk disampaikan kepada Gunseikanbu, kantor pemerintah bala tentara Dai Nippon. Demi sekuriti dan agar berita radio itu tidak tersebar ke dalam masyarakat, tim monitor tinggal terpisah dalam kompleks perumahan di Jalan Timor, di belakang hotel milik Jepang, di Jalan Thamrin sekarang. Dalam tim itu terdapat Dr. Janssen mantan pegawai Algemene Secretarie di Bogor yang paham bahasa Jepang, J.H. Ritman mantan Pemred Harian Bataviaasche Nieuwsblad, Thambu mantan wartawan Ceylon yang melarikan diri dari Singapura setelah kota itu jatuh ke tangan Jepang dan Mochtar Lubis. Pada masa itulah, akhir 1944, Lubis menikah dengan gadis Sunda, Halimah, yang bekerja di Sekretariat Redaksi Harian Asia Raja. (Halimah meninggal pada usia 77 tahun, 27 Agustus 2001).

Setelah proklamasi kemerdekaan dan kantor berita Antara yang didirikan tahun 1937 oleh Adam Malik dkk muncul kembali. Mochtar Lubis bergabung dengan Antara. Karena paham bahasa Inggris secara aktif, ia menjadi penghubung dengan para koresponden asing yang mulai berdatangan ke Jawa untuk meliput kisah Revolusi Indonesia. Sosoknya yang tinggi 1.85 meter merupakan pemandangan familier di tengah war correspondents yang bule-bule. Menjelang penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) 27 Desember 1949, ia bersama Hasjim Mahdan mendapat ide untuk memulai surat kabar baru. Maka lahirlah harian Indonesia Raya. Mochtar Lubis sebagai pemrednya. Ketika pertengahan 1950 pecah Perang Korea, Lubis pergi meliput pertempuran di Korea Selatan. Lalu ia pun terkenal sebagai koresponden perang. Pada parohan pertama dasawarsa 1950, ketika di zaman liberal, demokrasi parlementer, sangat dominan adanya personal journalism. Maka, Moctar Lubis adalah identik dengan Indonesia Raya, begitu pula sebaliknya. Surat kabar dikenal oleh yang memimpinnya: B.M. Diah di Merdeka, S Tasrif di Abadi, Rosihan Anwar di Pedoman.

Sebelum dikenai tahanan rumah pada 1957 dan tahanan penjara selama sembilan tahun sampai 1966, menurut penuturan H. Rosihan Anwar, Mochtar Lubis membikin masyarakat gempar dengan beberapa cerita/berita, yang disebut "affair". Pertama, affair pelecehan seksual yang dialami Nyonya Yanti Sulaiman, ahli purbakala, pegawai Bagian Kebudayaan Kementerian P & K. Bosnya di bagian itu bernama Sudarsono tidak saja berusaha merayu, melainkan juga mengeluarkan kata-kata seks serba "serem".
Tidak saja Indonesia Raya, melainkan juga Pedoman berhari-hari menyiarkan cerita asyik tentang sang Don Juan Sudarsono. Kedua, affair Hartini ketika terungkap hubungan Presiden Soekarno dengan seorang wanita di Salatiga yang mengakibatkan Nyonya Fatmawati berang dan kemudian meninggalkan istana.

Ketiga, affair Roeslan Abdulgani. Pada 13 Agustus 1956, CPM menangkap mantan Menteri Penerangan dalam kabinet Burhanuddin Harahap, Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe, karena urusan korupsi yang melibatkan Lie Hok Thay yang lebih dulu ditahan. Hok Thay mengaku memberikan uang satu setengah juta rupiah kepada Roeslan Abdulgani yang berasal dari ongkos mencetak kartu suara pemilu. Akibatnya, Roeslan yang telah menjadi Menteri Luar Negeri dalam kabinet Ali Sastroamidjojo hendak ditahan oleh CPM dua jam sebelum keberangkatannya tanggal 14 Agustus ke London untuk menghadiri konferensi internasional mengenai Terusan Suez. Presiden Mesir Nasser baru saja menasionalisasikan Suez. Berkat intervensi PM Ali dan Kepala Staf Nasution, penangkapan dibatalkan, dan Roeslan bisa berangkat ke luar negeri.

Dapat dimengerti apabila Presiden Soekarno yang tengah mewujudkan konsep politiknya --kelak menjelma sebagai demokrasi terpimpin Orde Lama-- marah-marah terhadap Lubis dan Indonesia Raya. Kolonel A.H. Nasution menjadi sekutu terpercaya Soekarno. Di musim gugur 1956, International Press Institute menyelenggarakan pertemuan para editor Indonesia dan editor Belanda di Zurich, Swiss, untuk mendiskusikan hubungan kedua negara. Sehari sebelum keberangkatan para editor, Mochtar dan Rosihan Anwar diinterogasi oleh CPM selama delapan jam di markasnya mengenai "sesuatu pemberitaan". Mereka diminta untuk stand by terus, namun tidak mereka indahkan.
Keesokan harinya, Mochtar dan Rosihan Anwar serta Diah, Tasrif, Wonohito, Adam Malik naik pesawat KLM dari Kemayoran. Lebih dari sebulan mereka berada di luar negeri menunggu situasi aman di Tanah Air. Kemudian mereka kembali dan di bandara diberitahu, mereka tidak akan ditangkap oleh Jaksa Agung. Rosihan Anwar memang tidak diapa-apakan, tetapi Mochtar tidak lama kemudian dikenai tahanan rumah. Ia mencoba memimpin Indonesia Raya dari rumah, tapi makin hari makin sulit situasinya. Pada 1961, ia dipindahkan ke penjara Madiun dan di sana ditahan bersama mantan PM Sjahrir, Mohammad Roem, Anak Agung Gde Agung, Sultan Hamid, Soebadio Sastrosatomo dan lain-lain. Keadaan di Tanah Air kacau. Peristiwa PRRI-Permesta menggoyahkan stabilitas. Kebebasan pers sirna. Indonesia Raya, Pedoman, Abadi dilarang terbit oleh Soekarno-Nasution.

Selain sebagai wartawan, Mochtar Lubis juga dikenal sebagai sastrawan. Ia pandai pula melukis dan membuat patung dari keramik. Mulanya dia menulis cerpen dengan menampilkan tokoh karikatural si Djamal. Kemudian dia bergerak di bidang penulisan novel. Di antara novelnya dapat disebut: Harimau, Harimau!, Senja di Jakarta, Jalan Tak Ada Ujung, Berkelana Dalam Rimba. Dia memperoleh Magsaysay Award untuk jurnalistik dan kesusastraan.
Setelah tahun 1968 Indonesia Raya diizinkan terbit kembali, Lubis melancarkan "perang salibnya" terhadap korupsi di Pertamina. Bos perusahaan negara itu, Letnan Jenderal Ibnu Soetowo, disorot dengan tajam, namun sia-sia belaka. Ibnu boleh mundur sebagai Direktur Utama Pertamina, akan tetapi posisinya tetap kokoh dan harta yang dikumpulkannya tidak dijamah. Mochtar lubis memang menjadi pahlawan di pentas jurnalistik, itulah yang amat disukainya. Apakah soalnya menyangkut pencemaran lingkungan hidup atau pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM), bisa dijamin ia ada di sana sebagai pembela perjuangan untuk yang benar dan adil. "Hero-complex"-nya menjadi motor pendorong dan motivasi penting dalam tindak-tanduknya.
Ketika terjadi peristiwa Malari Januari 1974 dan para mahasiswa beraksi mendemo PM Tanaka dari Jepang, kebakaran terjadi di Pasar Senen, disulut oleh anak buah Ali Moertopo, Presiden Soeharto jadi gelagapan. Ia instruksikan membredel sejumlah surat kabar, di antaranya Indonesia Raya, Pedoman, dan Abadi. Lubis sendiri ditahan selama dua bulan. Setelah bebas lagi bergerak, Mochtar banyak aktif di pelbagai organisasi jurnalistik luar negeri seperti Press Foundation of Asia. Di dalam negeri, dia mendirikan majalah sastra Horison dan menjadi Direktur Yayasan Obor Indonesia yang berprestasi menerbitkan buku-buku bermutu, baik yang dari luar negeri maupun domestik. Usaha penerbitan itu bisa tinggal landas lantaran yayasan ini memperoleh dana dari luar, seperti Ivan Kats dari Asia Foundation. Sesungguhnya, salah satu ciri khas Mochtar Lubis ialah PR (public relations) yang kuat, keluwesan bergaul, antusiasme terhadap sesuatu cause seperti ekologi, demokrasi, keadilan, dan hukum. Pintu yang diketoknya menjadi terbuka dan soal pendanaan tak jadi masalah.

Pada saat acara HUT ke-80 Mochtar Lubis, 9 Maret 2002 lalu, seorang pembicara dari LIPI, yaitu Dr. Mochtar Pabottinggi, menamakan Mochtar sebagai "person of character", insan nan berwatak. Di negeri kita sekarang, makin langka "person of character" itu. Bung Hatta di zaman Pendidikan Nasional Indonesia awal 1930-an suka menyerukan agar tampillah manusia-manusia yang punya karakter. Ibu Pertiwi tetap mengharapkan dan memerlukan banyak "person of character". Maka, tutur wartawan senior H. Rosihan Anwar, dalam kolomnya di Majalah Gatra Nomor 17 Tahun ke VIII, 11 Maret 2002, yang menjadi sumber artikel ini: "Dalam cahaya, kita menghormati wartawan Mochtar Lubis yang sudah sepuh. Sudah saatnya dia dianugerahi tanda kehormatan Bintang Mahaputra oleh Presiden RI."(Tokoh Indonesia, dari berbagai sumber)

In Memoriam Mochtar Lubis (Pikiran Rakyat)

In Memoriam Mochtar Lubis, Wartawan dan Sastrawan Besar
Selalu Berusaha Menegakkan Kebenaran
Oleh Muhammad Ridlo 'Eisy

Di mana ada ujung jalan perjoangan dan perburuan manusia mencari bahagia? Dalam hidup manusia selalu setiap waktu ada musuh dan rintangan-rintangan yang harus dilawan dan dikalahkan. Habis satu muncul yang lain, demikian seterusnya. Sekali kita memilih jalan perjoangan, maka itu jalan tidak ada ujungnya. Dan kita, engkau, aku, semuanya telah memilih jalan perjoangan. (Mochtar Lubis, "Jalan Tak Ada Ujung", Pustaka Jaya, 1971, halaman 46).

JUMAT, 2 Juli 2004, pukul 19.15 wib, Mochtar Lubis wafat. Perjalanan lelaki yang selama hidupnya memilih jalan perjuangan mencari kebahagiaan manusia dan berusaha membentuk keadaan masyarakat agar lebih mudah mencari kebahagiaan itu, telah berakhir. Ia kini menuju ke arah kebahagiaan abadi, menghadap Ilahi Rabbi.

Namun, seperti yang ditulisnya sendiri dalam buku "Jalan Tak Ada Ujung", perjuangan menuju kebahagiaan manusia memang tiada ujungnya. Sadar atau tidak sadar, mau atau tidak mau, setiap manusia berjuang untuk mencari kebahagiaan bagi dirinya, bagi keluarganya, dan bagi lingkungan yang lebih luas.

Mochtar Lubis memilih lapangan kewartawanan dan kesusastraan sebagai alat perjuangannya. Karya sastra dan karya jurnalistiknya kini menjadi warisan bagi umat manusia, khususnya warga Indonesia. Salah satu karya jurnalistiknya yang monumental adalah waktu harian "Indonesia Raya" membongkar korupsi di Pertamina di akhir tahun 1960-an. Korupsi dalam tubuh Pertamina bukan saja hampir menenggelamkan Pertamina sendiri, tetapi juga perekonomian bangsa. Pertamina diselamatkan pemerintah pada pertengahan dekade 1970-an. Jika saja pemerintahan Orde Baru mendengarkan kritik yang dilontarkan Mochtar Lubis dan jajaran harian "Indonesia Raya", kemungkinan kerugian yang sedemikian besar bisa dicegah lebih awal.

Tak terhitung warisan jurnalistik yang ditinggalkan Mochtar Lubis bagi kewartawanan. Yang patut dicatat di sini adalah cara Mochtar Lubis dalam melahirkan karya-karyanya. Ia sangat menjunjung tinggi etika jurnalistik. Ia tidak memperkenankan wartawannya menyamar dalam investigative reporting. Ia tidak akan memuat berita yang tidak didukung oleh fakta. Ia juga meletakkan dasar-dasar independensi wartawan, seperti yang ditulisnya dalam tajuk rencana nomor pertama "Indonesia Raya" tanggal 29 Desember 1949:

"Dalam badan penerbitan ini tergabung wartawan-wartawan Indonesia yang berpendirian merdeka, wartawan-wartawan yang tidak diikat oleh pendirian partai atau sesuatu golongan. Yang dikejar oleh mereka hanya tujuan-tujuan jurnalistik semata-mata, yaitu mempertahankan kemerdekaan pers nasional yang kuat dan bebas dan mempertinggi mutunya jurnalistik Indonesia sejalan dengan kemajuan di lain lapangan yang kini diperjuangkan dengan hebat oleh segenap bangsa Indonesia. ... Bagi kami terutama sekali kebenaran dan obyektivitas akan terus menjadi obor dan pegangan dalam usaha. Kami akan menghindarkan diri dari politik pemberitaan yang berat sebelah, yang menguntungkan satu golongan dan merugikan golongan lain."

Sikap Mochtar Lubis itu merupakan sebuah "kemewahan" pada masa Orde Baru, tapi pada masa reformasi ini hampir semua media cetak mengambil sikap seperti yang diambil oleh Mochtar Lubis. Bahkan negara melalui UU No. 32/2002 tentang Penyiaran mewajibkan lembaga penyiaran bersikap independen.

Untuk menegakkan kebenaran itulah Mochtar Lubis dipenjara oleh Orde Lama maupun Orde Baru. Ia masuk tahanan pada tanggal 22 Desember 1956 dan menghirup kemerdekaan setelah Orde Lama tumbang pada tahun 1966. Buku harian selama dipenjara diterbitkan dalam buku "Catatan Subversif" (Sinar Harapan, 1980). Dalam pengantar buku itu Mochtar Lubis menulis:

"Pelajaran yang dapat ditarik, menurut hematku, dari pengalaman buruk yang diderita bangsa Indonesia di bawah telapak kaki rezim Soekarno, adalah bagaimana jangan memimpin bangsa dan negara dengan kebohongan, kepalsuan, kerakusan pada kekuasaan, pelanggaran hukum dan undang-undang, mimpi-mimpi palsu yang didorong ambisi kebesaran pribadi. Pelajaran ini baik direnungkan para pemegang kekuasaan. Pelajaran lain adalah untuk rakyat dan bangsa kita sendiri, agar jangan mau tertipu dan terpesona dengan kata-kata indah, janji-janji muluk, tetapi agar senantiasa waspada mencocokkan kata dengan perbuatan pemimpin dan penguasa."

Malu kepada para pejuang

Kutipan-kutipan di atas adalah sedikit cuplikan dari begitu banyak warisan tokoh wartawan yang sangat mengagumkan itu. Pada waktu Orde Baru pun Mochtar Lubis harus masuk tahanan beberapa bulan setelah Peristiwa 15 Januari 1974 atau yang lebih dikenal dengan istilah "Malari", dan harian "Indonesia Raya" kembali dilarang terbit.

Sewaktu ia berceramah di ITB tahun 1979, saya bertanya kepadanya mengapa ia tidak berkompromi dengan pemerintah untuk menandatangani surat pernyataan yang dibuat Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban), apakah ia tidak memikirkan nasib karyawannya, agen-agen korannya dengan seluruh lopernya.

Dengan tenang Mochtar Lubis menjawab bahwa ia sangat memikirkan nasib seluruh karyawannya. Ia turut mencarikan pekerjaan para karyawannya setelah "Indonesia Raya" diberedel. Tentang nasib agen-agen dan seluruh lopernya, ia berkeyakinan akan tetap baik, karena masih ada koran-koran yang terbit. "Saya tidak mau menandatangani surat pernyataan yang disodorkan pemerintah," kata Mochtar Lubis, "karena malu kepada teman-teman saya pejuang kemerdekaan."

Ia menguraikan, teman-temannya berjuang memerdekakan Indonesia dengan mengorbankan jiwa dan raganya. Banyak di antara temannya yang gugur dalam perjuangan itu. "Teman-teman saya rela mengorbankan nyawanya untuk kemerdekaan Indonesia. Apakah saya tidak mau mengorbankan koran saya untuk memperjuangkan kemerdekaan yang serupa, yaitu kemerdekaan pers?," katanya.

Individu dan negara

Memang Mochtar Lubis adalah pejuang kemerdekaan. Pernah ia akan mengangkat senjata dan bergabung dalam perjuangan fisik pada masa kemerdekaan. Namun, atas saran Adam Malik (almarhum) ia kembali berjuang dengan menggunakan media. Adam Malik berkata, sudah banyak orang yang berjuang dengan senjata, tapi masih sedikit yang berjuang dengan pena.

Gagasan Mochtar tentang negara yang dicita-citakannya disampaikan secara tidak langsung dalam novel "Jalan Tak Ada Ujung". Ia menulis:

"Bagiku individu itu adalah tujuan, dan bukan alat mencapai tujuan. Kebahagiaan manusia adalah dalam perkembangan orang seorang yang sempurna dan harmonis dengan manusia lain. Negara hanyalah alat. Dan individu tidak boleh diletakkan di bawah negara. Ini musik hidupku. Ini perjuanganku. Ini jalan tak ada ujung yang kutempuh. Ini revolusi yang kita mulai. Revolusi hanya alat mencapai kemerdekaan. Dan kemerdekaan juga hanya alat memperkaya kebahagiaan dan kemuliaan penghidupan manusia-manusia."

Pandangan Mochtar Lubis ini jelas bertentangan dengan pandangan totaliter yang menempatkan negara di atas segala-galanya. Manusia hanya alat. Demi kejayaan negara kalau perlu warga negara dikorbankan. Faham totaliterianisme ini menyusup ke berbagai ideologi dan aliran-aliran dalam agama. Komunisme, fasisme, Nazi, Orde Lama, maupun Orde Baru menganut jalan hidup totaliterianisme. Salah satu ciri totaliterianisme adalah adanya penguasa yang memonopoli kebenaran dan hanya dialah yang berhak mengatasnamakan negara.

Alhamdulillah cita-cita Mochtar Lubis tentang negara ini sebagian telah mewujud dalam Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945, khususnya dengan dimasukkannya perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM). Jangan sampai perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia ini tergusur lagi, walaupun oleh Komisi Konstitusi.

Sastrawan besar

Perkenalan saya kepada Mochtar Lubis semakin dekat setelah saya menjadi wartawan Pikiran Rakyat tahun 1982. Dan menjadi semakin akrab lagi setelah saya mengikuti Konferensi Sastrawan Asia Tenggara 1985 di Bali dan 1987 di Singapura. Saya mengamati, begitu hormatnya para sastrawan se-Asia Tenggara kepada beliau. Mochtar Lubis bukan hanya seorang wartawan yang teguh memegang prinsip, tetapi juga sastrawan besar yang karyanya sangat indah dan penuh pesan. Oleh karena itu, sangat wajar apabila karya-karya Mochtar Lubis mendapat penghargaan baik di tingkat nasional maupun internasional. Begitu halus pesannya disisipkan ke dalam setiap kisah, sehingga tidak terasa bagi yang membacanya.

Dalam novelnya yang berjudul "Harimau, Harimau", Mochtar Lubis menyisipkan nasihat: "Setiap orang wajib melawan kezaliman di mana pun kezaliman itu berada. Salahlah bagi orang memencilkan diri, dan pura-pura menutup mata terhadap kezaliman yang menimpa diri orang lain."

Mochtar Lubis telah mempraktikkan perlawanan terhadap kezaliman melalui karya sastra dan karya jurnalistik. Seringkali saya mendapat nasihat beliau untuk tetap tabah sebagai wartawan, karena beban wartawan sekarang ini semakin berat. Nasihat itu disampaikan di berbagai kesempatan di sela-sela makan siang di rumahnya. Masakan Ibu Mochtar, Ibu Hally sangat lezat, khususnya sambal bikinannya. Kecintaannya kepada istrinya sangat luar biasa. Pada tahun 1998, saat saya berkunjung ke rumah beliau untuk mengajak memperjuangkan kemerdekaan pers, dengan menyusun Undang-Undang Pers yang baru, beliau sangat senang, tetapi beliau tidak mungkin aktif secara fisik. Beliau mengatakan bahwa ibu sedang sakit, dan ia harus merawatnya sendiri. "Bertahun-tahun ibu merawat saya, khususnya waktu saya di penjara. Sekarang giliran saya untuk membahagiakan ibu," katanya.

Pernah Pak Atmakusumah, mantan Ketua Dewan Pers, menuturkan bahwa Pak Mochtar bertanya tentang istrinya waktu ia dirawat di rumah sakit. "Tentu saja saya katakan baik-baik saja di rumah," kata Pak Atma, "Padahal Ibu Hally berada di rumah sakit juga, di sebelah kamar Pak Mochtar."

Kini Mochtar Lubis telah pergi selama-lamanya. Namun karya-karyanya dan pesan-pesannya masih hidup bersama kita sampai sekarang. Alangkah relevan penutup ceramahnya di Gedung Kebangkitan Nasional Jakarta, tanggal 30 Januari 1978:

"Pada akhirnya saya memberanikan diri berbicara untuk yatim piatu bangsa kita, jumlah 50 persen yang masih berada di bawah garis kemiskinan, yang masih menderita kekurangan kalori dan protein, dengan segala akibatnya yang buruk bagi perkembangan mereka sejak bayi hingga menjadi dewasa, dan pula untuk hari depan dan generasi-generasi yang akan datang di tanah air kita, nasib mereka ditentukan oleh apa yang kita lakukan atau tidak kita lakukan hari ini. Untuk merekalah saya berdiri di sini hari ini, menyampaikan hati nurani saya sebagai seorang anak Indonesia, didorong oleh cinta dan kasih saya kepada rakyat dan tanah air Indonesia."***

- Muhammad Ridlo 'Eisy adalah anggota Dewan Redaksi Harian Pikiran Rakyat.

Obituari Mochtar Lubis (Tempo Interaktif)

Obituari

Mochtar Lubis Meninggal Dunia
Jum'at, 02 Juli 2004 | 22:04 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Mochtar Lubis, wartawan senior yang juga sastrawan, meninggal dunia, Kamis (2/7), sekitar pukul 19.00 WIB di Rumah Sakit Medistra Jakarta. Saat ini jenazahnya masih berada di RS Medistra. Rencananya, jenasah akan dibawa ke rumah duka di Jl. Bonang No. 17 Jakarta, sekitar pukul 22.00 WIB.

Menurut suster pribadi Mochtar Lubis, Minah, jenazah dirawat sejak kamis minggu lalu, dan dua hari sebelumnya Muchtar menderita batuk-batuk. "Bapak sudah lama menderita asma," tutur Minah ketika ditemui Tempo News Room di rumah almarhum.

Pria kelahiran Maret 1922 ini pernah menjadi pemimpin umum Majalah Sastra Horison dan Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya. Selain itu ia juga kolumnis di Kompas, Sinar Harapan, Tempo, dan Fokus. Beberapa cerita pendek yang dihasilkannya antara lain Harimau! Harimau!, Perempuan-Perempuan, dan Si Djamal. Almarhum meninggalkan tiga orang putra.