Mochtar Lubis dari Indonesian Media

Mengenang Mochtar Lubis

Menjadikan Pena Sebagai Alat Perjuangan

Mochtar Lubis memilih pena sebagai alat perjuangannya. Melalui ketajaman pena ia dengan berani dan tanpa pernah merasa lelah menyuarakan nilai-nilai kebenaran, keadilan, hukum dan hak asasi manusia (HAM).

"Bagi saya, Mochtar Lubis adalah pejuang, sahabat sejati, sekaligus guru yang identik dengan seorang sosok yang gigih, konsisten dan konsekuen memperjuangkan cita-cita demokrasi, negara hukum dan HAM, termasuk kebebasan pers. Harian Indonesia Raya yang didirikannya merupakan bukti nyata tindakannya menjadikan pena sebagai alat perjuangan untuk membela kepentingan rakyat,'' kata pengacara senior, Adnan Buyung Nasution dalam acara "Mengenang Mochtar Lubis, 40 Hari Wafatnya", di Galeri Cipta 3, Taman Ismail Marzuki Jakarta, Kamis (12/8).

Diskusi mengenang Mochtar Lubis, sosok pers nasional itu, dihadiri oleh sahabat, keluarga, dan para pengagumnya. Sejumlah sahabat yang hadir antara lain, Atmakusumah, Djaffar Assegaf, Eka Budianta, Hamzad Rangkuti, Lukman Setiawan, Daniel Dhakidae dan Hanna Rambe. Acara tersebut diawali pembacaan riwayat hidupnya oleh rekan sekerja di Harian Indonesia Raya, Atmakusumah.
Menurut Atmakusumah, Mochtar Lubis yang kelahiran Padang 7 Maret 1922 dan meninggal dunia pada 2 Juli 2004, lebih dikenal dan dihargai karya-karyawanya di luar negeri daripada di Tanah Airnya. "Penghargaan yang diterimanya lebih banyak berupa penjara, karena sikapnya yang berani menegakan kebenaran dan keadilan. Seperti di Indonesia Raya, ia mengungkap kasus korupsi Pertamina dan sebagainya,'' ujarnya.

Adnan Buyung Nasution menambahkan, perjuang dengan menggunakan pena membuat Indonesia Raya empat kali diberedel oleh pemerintah Orde Lama (Orla) maupun Orde Baru (Orba). "Namun Bang Mochtar dengan ringan mengatakan bahwa penahanannya disebabkan oleh tulisannya yang tajam mengritik pemerintah", kata Buyung mengenangnya.

Dikatakan, masuk penjara tidaklah membuat Mochtar jera. "Kala terjadi peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974), kami ditahan bersama. Saat itu ia menasehati saya untuk mengatakan pada diri sendiri bahwa ini akan lama dan jangan peduli. Lupakan dunia luar," katanya.

Perjuangan menegakan kebenaran, keadilan, HAM dan hukum melahirkan risiko yaitu ditahan beberapa kali oleh pemerintah Orla dan Orba. "Tapi Bang Mochtar tidak lengkang karena panas, tidak pula lapuk karena hujan", tandas Buyung.

Wartawan Jihad
Sekretaris Umum Badan Pekerja Kongres Kebudayaan (BPKK), Eka Budianta, mengungkapkan Mochtar Lubis juga dijuluki sebagai wartawan jihad karena memiliki kemampuan mendidik diri sendiri. "Saya kagum karena ia melukiskan watak bangsanya dengan enam stereotip: munafik, enggan bertanggung jawab, feodalis, percaya tahayul, lemah karakter, dan cenderung eksentrik (nyeniman). Tapi ia belum tahu atau mungkin lupa bahwa orang tidak suka, dan tidak pernah bisa memperbaiki kepribadian dengan cara mengakui kelemamahnya. Jadi kalau ada orang sakit hati, atau benci kepada Mochtar Lubis, saya rasa itulah alasannya," katanya.

Menurut Eka Budianta, Mochtar Lubis telah menjadi teladan yang baik untuk memasuki era global. Penglihatannya yang terang benderang dan bicaranya yang tanpa sensor membuat ia dikagumi dan ditentang.

Sementara itu, tokoh pers Rosihan Anwar menyanjung kejujuran dan keberanian Mochtar Lubis yang nyaris tanpa tandingan. "Ia terlalu pandai menelanjangi kelemahan bangsa sendiri.

Daniel Dhakidae mengatakan, Mochtar Lubis adalah figur yang memilih jalan lurus dalam kehidupan dan karya-karya kemanusaan. "Ibarat kereta api, jalannya lurus dan menggilas penghalang di depannya," katanya.
Dikatakan, Mochtar adalah manusia universal yang memperjuangkan demokrasi, HAM, hukum dan kebebasan dan menghargai kaum perempuan. M (SP/IM)