80 Tahun Mochtar Lubis (Republika)

Republika Online, Selasa, 18-Juni-2002

80 Tahun Mochtar Lubis: Pengelana Sastra Yang Tak Pernah Lelah

Buku ini berisikan kisah petualangan Paman Rokhtam, Aisa, Poni, Rais, Pentil, Adnan, dan Ayang menelusuri rimba Gunung Hitam di Sumatera Barat. Konon, menurut masyarakat sekitar, gunung tersebut tergolong angker. Di sana orang bunian dan satwa liar mengancam nyawa siapa pun yang berani masuk ke dalamnya. Kisah tersebut tidak menyurutkan keenam sahabat itu untuk menjelajahi Gunung Hitam bersama Paman Rokhtam yang sangat bijaksana.

Melalui 'Berkelana dalam Rimba' ini Mochtar juga menyisipkan berbagai pelajaran penting dengan gayanya yang khas. Lihat saja di halaman 39. ''... Jika kita pandai membacanya, rimba belantara terbuka bagi kita seperti sebuah buku....'' Kalimat tersebut dituturkan Paman Rokhtam mengajarkan keenam pemuda itu tentang alam.

Mochtar pun tak luput menyisipkan pesan bahwa perempuan pun sanggup menandingi kekuatan laki-laki. ''Dalam hati mereka masing-masing kagum melihat kedua anak perempuan itu dapat mengikuti mereka.'' Pesan tersebut disampaikannya di halaman 36 yang menggambarkan kekaguman para anak laki-laki atas kemampuan Aisa dan Ayang yang juga mampu mencapai puncak lereng.

Di samping itu, Mochtar juga mengingatkan kembali pelajaran Pramuka seperti tali-temali, cara 'surviving' di rimba, serta tidak ketinggalan berbagai hal tentang flora dan fauna.

Dan tentu saja, di bagian lain, Mochtar akhirnya mengungkap misteri yang menyelimuti Gunung Hitam. Cerita mistik yang tersebar di masyarakat kampung ternyata hanya isapan jempol belaka. Nyatanya bau bangkai yang membuat bulu kuduk masyarakat berdiri berasal dari bunga bangkai Raflesia Arnoldi yang tumbuh di hutan.

Di bab terakhir, Mochtar melukiskan perjalanan tokoh utama tersebut yang akhirnya bertemu dengan para pemburu ilegal. Kerja sama dan rasa saling percaya akan kemampuan sahabat-sahabatnya membuat Paman Rokhtam dan 'pasukan'-nya berhasil membuat pemburu ilegal tersebut tertangkap.

Buku ini dirilis ulang karena pada tahun-tahun terakhir ini ia banyak mencurahkan perhatiannya pada masalah lingkungan hidup. Tulisannya ini diilhami oleh pengalaman ketika remaja bertualang di alam bebas. Buku setebal 186 halaman ini hanyalah satu dari sekian banyak karya Mochtar yang telah terbit.

Sederet penghargaan tingkat nasional maupun internasional pun telah diraih Mochtar atas dedikasinya terhadap dunia sastra.
Golden Pen Award dari International Association of Editors and Publisher ialah salah satunya. Novel 'Harimau! Harimau!' dianugrahi hadiah dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1975. Ia bahkan pernah memperoleh penghargaan Hadiah Sastra dari Yayasan Jalan Raya untuk buku terbaik tahun 1977-1978 berkat bukunya 'Maut dan Cinta.'

Mejalani hidup selama 80 tahun membuat sastrawan angkatan '45 ini memiliki pengalaman hidup yang sarat pelajaran berharga. ''Kita telah menyaksikan betapa konsistennya seorang Mochtar Lubis ketika memperjuangkan prinsipnya. Mochtar telah menyumbangkan amal bakti yang bernas dan berarti bagi bangsa kita,'' ujar Mochtar Pabottingi dalam kata sambutannya ketika perayaan ulang tahun Mochtar Lubis yang bertema ''Mochtar Lubis dan Perjalanannya yang Tak Ada Ujung -- Tak Pernah Selesai'' di Jakarta.

Mochtar Lubis yang juga direktur Yayasan Obor Indonesia ini memang pernah merasakan hidup di bui. Ia terpaksa mendekam dalam tahanan ketika rezim Orde Lama dan Orde Baru. Pengalaman pahit itu terjadi akibat pemikiran-pemikirannya dianggap berbahaya oleh kedua rezim tersebut.

''Meski terpenjara secara jasmani, Bapak tetap bersikukuh pada pendiriannya. Penjara tidak membuatnya surut untuk berkarya,'' ungkap Mira, salah seorang cucu Mochtar melalui surat yang dibacakan saat perayaan ulang tahun yang dihadiri oleh sejumlah tokoh penting itu.

''Korupsi memang seperti tak mati-mati, bahkan makin gila. Apakah perjuangan saya untuk membongkar korupsi dari dulu hingga sekarang sia-sia?'' ungkap Mochtar yang dituliskan dalam undangan perayaan ulang tahunnya. ''Tidak juga. Pemberantasan korupsi memang harus melibatkan banyak orang, banyak pihak. Saya hanya menyelesaikan apa yang menjadi bagian tugas saya.''

Kehidupan Mochtar, menurut Taufik Abdullah, menunjukkan pentingnya rasionalitas dan 'logical consistency'. ''Ia mengingatkan kita agar tidak terjebak dalam dilema yang tidak perlu.''

Kendati keras dalam pendirian, Mochtar yang enggan dipanggil ''kakek'' oleh cucunya itu, diakui para sahabatnya sebagai orang yang penuh kelembutan dan perhatian. '''He's a real gentleman'. Dia selalu siap untuk membantu orang yang dalam kesusahan,'' aku Toeti Heraty yang sempat bekerja dengan Mochtar di Yayasan Obor dan Lembaga Bantuan Hukum. ''Dia juga orang yang tahu benar bagaimana cara memperlakukan seorang perempuan. Itu tecermin dari caranya memperlakukan sang isteri, Hally.''

Bahkan aktivis perempuan Yenni Rosa Damayanti menjuluki Mochtar sebagai seorang ''feminist'' sejati. ''Ini terbukti dari kepeduliannya terhadap perempuan. Mochtar jugalah yang membuat buku saya bisa diterbitkan,'' ujar perempuan yang berjalan dengan bantuan tongkat ini.

Mochtar yang lahir tanggal 7 Maret 1922 di Padang, Sumatera Barat, ini tak hanya dikenal sebagi sastrawan dan budayawan. Ia juga terkenal sebagai wartawan senior. 'Horison' dan 'Indonesia Raya' adalah majalah yang diretasnya bersama sejumlah tokoh sastra Indonesia. Sutardji Calzoum Bachri, HB Jassin, Ati Ismail, Taufiq Ismail, Jamal D Rahman, Hamsad Rangkuti, Azwan Hamir, dan Ikranagara ialah beberapa rekan Mochtar di 'Horison', majalah yang terbit perdana 35 tahun lalu.

Kepedulian Mochtar dan rekan-rekannya di 'Horison' terhadap kemerosotan budaya baca, kemampuan menulis, dan apresiasi sastra bangsa Indonesia, ditunjukkan dengan menerbitkan sisipan 'Kakilangit' yang ditujukan untuk membantu pengajaran ketiga hal tersebut di SMU. Di samping itu, ketika kondisi fisiknya masih cukup tangguh, Mochtar juga turut berpartisipasi dalam melatih guru bahasa dan sastra SMU se-Indonesia.

''Sayang sekali Bang Mochtar secara fisik tidak dapat berpartisipasi aktif bersama kami bepergian ke daerah-daerah dalam tiga tahun terakhir ini,'' tutur Taufiq Ismail. Sastrawan yang satu angkatan dengan Mochtar ini berharap seluruh rangkaian kegiatan dan dedikasi Mochtar dalam jangka panjang membuahkan ''1.000 Bunga yang Molek-molek'' di dalam ''Taman Penghidupan Bangsa Kita'' -- sesuai dengan tulisan pengantar Mochtar dalam nomor perdana 'Horison' Juli 1966.