Mochtar Lubis

Mochtar Lubis

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Mochtar Lubis (dilahirkan tanggal 7 Maret 1922 di Padang, meninggal tanggal 2 Juli 2004 di Jakarta) adalah seorang jurnalis dan pengarang ternama asal Indonesia. Sejak zaman pendudukan Jepang ia telah dalam lapangan penerangan. Ia turut mendirikan Kantor Berita ANTARA, kemudian mendirikan dan memimpin harian Indonesia Raya yang telah dilarang terbit. Ia mendirikan majalah sastra Horizon bersama-sama kawan-kawannya. Pada waktu pemerintahan rezim Soekarno, ia dijebloskan ke dalam penjara hampir sembilan tahun lamanya dan baru dibebaskan pada tahun 1966. Pemikirannya selama di penjara, ia tuangkan dalam buku Catatan Subversif (1980).

Pernah menjadi Presiden Press Foundation of Asia, anggota Dewan Pimpinan International Association for Cultural Freedom (organisasi CIA), dan anggota Federation Mondial pour le Etudes sur le Futur.

Novelnya, Jalan Tak Ada Ujung (1952 diingriskan A.H. John menjadi A road with no end, London, 1968), mendapat Hadiah Sastra BMKN 1952; cerpennya Musim Gugur menggondol hadiah majalah Kisah tahun 1953; kumpulan cerpennya Perempuan (1956) mendapatkan Hadiah Sastra Nasional BMKN 1955-1956; novelnya, Harimau! Harimau! (1975), meraih hadiah Yayasan Buku Utama Departeman P & K; dan novelnya Maut dan Cinta (1977) meraih Hadiah Sastra Yayasan Jaya Raya tahun 1979. Selain itu, Mochtar juga menerima Anugerah Sastra Chairil Anwar (1992).

Bibliografi

  • Tidak Ada Esok (novel, 1951)
  • Si Jamal dan Cerita-Cerita Lain (kumpulan cerpen, 1950)
  • Teknik Mengarang (1951)
  • Teknik Menulis Skenario Film (1952)
  • Harta Karun (cerita anak, 1964)
  • Tanah Gersang (novel, 1966)
  • Senja di Jakarta (novel, 1970; diinggriskan Claire Holt dengan judul Twilight in Jakarta, 1963)
  • Judar Bersaudara (cerita anak, 1971)
  • Penyamun dalam Rimba (cerita anak, 1972)
  • Manusia Indonesia (1977)
  • Berkelana dalam Rimba (cerita anak, 1980)
  • Kuli Kontrak (kumpulan cerpen, 1982)
  • Bromocorah (kumpulan cerpen, 1983)

Karya jurnalistiknya:

  • Perlawatan ke Amerika Serikat (1951)
  • Perkenalan di Asia Tenggara (1951)
  • Catatan Korea (1951)
  • Indonesia di Mata Dunia (1955)

Mochtar Lubis juga menjadi editor:

  • Pelangi: 70 Tahun Sutan Takdir Alisyahbana (1979)
  • Bunga Rampai Korupsi (bersama James C. Scott, 1984)
  • Hati Nurani Melawan Kezaliman: Surat-Surat Bung Hatta kepada Presiden Soekarno (1986)

Terjemahannya:

  • Tiga Cerita dari Negeri Dollar (kumpulan cerpen, John Steinbeck, Upton Sinclair, dan John Russel, 1950)
  • Orang Kaya (novel F. Scott Fitgerald, 1950)
  • Yakin (karya Irwin Shaw, 1950)
  • Kisah-kisah dari Eropa (kumpulan cerpen, 1952)
  • Cerita dari Tiongkok (terjemahan bersama Beb Vuyk dan S. Mundingsari, 1953)

Studi mengenai Mochtar Lubis:

  • M.S. Hutagalung, Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis (1963)
  • Henri Chambert-Loir, Mochtar Lubis, une vision del'Indesie Contemporaine (disertasi, Paris, 1974)
  • David T. Hill, Mochtar Lubis: Author, Editor, and Political Actor (disertasi, Canberra, 1989)

Mochtar Lubis Meluruskan Sejarah (Kompas)

Kompas, Kamis, 20 Oktober 1994

Mochtar Lubis tentang Aduan Sukmawati Soekarnoputri
"Saya Siap untuk Meluruskan Sejarah"

Jakarta, Kompas

"Saya siap ke pengadilan. Sudah terlalu banyak bagian dari sejarah negeri kita yang dipalsukan, dan perlu diluruskan," demikian komentar Mochtar Lubis (72) yang disampaikan kepada Kompas Rabu malam (19/10), ketika diminta tanggapannya mengenai diadukannya dirinya ke polisi oleh Sukmawati Soekarnoputri (43). Rabu siang Kepala Kepolisian RI Jenderal (Pol) Banurusman mengungkapkan, Sukmawati Soekarnoputri datang menemuinya di Markas Besar Kepolisian untuk mengadukan dan melaporkan Mochtar Lubis yang dinilainya telah menghina keluarga besar Bung Karno (1901-1970) melalui wawancara di sebuah majalah.

Mochtar Lubis, budayawan dan mantan Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya, menegaskan bahwa ia siap dipanggil polisi untuk menjelaskan kepalsuan sejarah Indonesia.

Majalah Sinar terbitan 3 Oktober 1994 lalu memuat wawancara dengan Mochtar Lubis, berjudul Kalau Saya Militer, Bung Karno Saya Penjarakan. Dalam wawancara itu, Mochtar Lubis antara lain menegaskan tentang keterlibatan Presiden pertama RI (1945-1967) Soekarno dalam G30S/PKI. Mochtar juga menanggapi buku yang ditulis Manai Sophiaan (80).

Datang langsung

Kapolri Banurusman membenarkan bahwa Sukmawati Soekarnoputri telah datang menemuinya langsung di Markas Besar Polri. Kedatangan Sukmawati itu untuk mengadukan Mochtar Lubis, yang dalam wawancara dengan Majalah Sinar, dinilai telah menghina keluarga Bung Karno. Soekmawati adalah anak ke-4 Dr Ir Soekarno dari perkawinannya dengan Ny. Fatmawati (1923-1980). "Sukmawati memang datang menemui saya di Mabes Polri pekan lalu, membawa surat pengaduan," kata Kapolri Jenderal (Pol) Banurusman menjawab wartawan seusai menghadiri acara di Wisma Bhayangkari, Jakarta Selatan, Rabu. Menurut Kapolri, ia sudah menawarkan kepada Sukmawati yang mewakili keluarga Bung Karno untuk mengubah surat pengaduan menjadi laporan resmi. Hal ini diperlukan untuk menyesuaikan dengan format umum laporan polisi.

Kapolri Banurusman menambahkan, Mochtar Lubis akan dipanggil setelah pembuktian-pembuktiannya dilengkapi, termasuk keterangan saksi. Ini berarti semua pihak yang berkaitan dengan kasus ini, termasuk Penanggung Jawab/Pemimpin Redaksi Majalah Sinar akan dimintai keterangannya oleh Polri.

Penghinaan

Dalam surat pengaduan yang ditujukan kepada Kapolri tertanggal 13 Oktober 1994, Sukmawati Soekarnoputri, artis, penulis dan politisi yang beralamat di Jl Cempaka Putih Timur IV No 19, Jakarta Pusat, disebutkan bahwa wawancara tersebut dimuat dalam Majalah Sinar No 53 Tahun II/3 Oktober 1994. "Dalam wawancara itu Mochtar Lubis menyatakan (1) Soekarno memang terlibat dalam peristiwa G-30-S, (2) Soekarno itu bodoh dan sesat, (3) Itu dosa-dosa Soekarno kepada Republik Indonesia, (4) Apa yang dilakukan Soekarno dengan PKI itu suatu pengkhianatan besar kepada UUD RI," demikian sebagian isi laporan Sukma.

Selanjutnya dikatakan, "Hal-hal itulah yang menyebabkan saya dan keluarga Bung Karno merasa bahwa Mochtar Lubis telah melakukan penghinaan kepada Proklamator/Presiden pertama RI Dr Ir Soekarno, dan mencemarkan nama baik bapak saya Dr Ir Soekarno. Saya dan keluarga Bung Karno merasa sangat terhina dengan pernyataan penghinaan besar, dari Mochtar Lubis." Pada akhir isi suratnya, Sukmawati minta kepada Polri untuk mengusut dan menuntut Mochtar Lubis ke pengadilan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Surat dengan tembusan kepada Presiden, Wapres, Jaksa Agung dan 13 orang lainnya itu diterima langsung oleh Kapolri Banurusman. Kadispen Polri Brigjen (Pol) Drs I Ketut Ratta yang dihubungi terpisah kemarin mengatakan, kasus-kasus pencemaran nama biak/penghinaan yang berkaitan dengan masalah politik tampaknya mulai marak. "Masa dua tahun menjelang Pemilu 1997, bukan waktu yang panjang bagi politisi untuk mengangkat masalah-masalah politik ke permukaan. Polri sudah mengantisipasi adanya kasus-kasus semacam ini," kata Ratta.


Lubis Tak Cuma Menggertak (Gatra)

Majalah Berita Mingguan GATRA
Edisi : 9 September 1995 ( No.43/ I )
Rubrik : Nasional

MAGSAYSAY

Lubis Tak Cuma Menggertak

Mochtar Lubis mengembalikan Hadiah Magsaysay. Kasus Pramoedya
didukung di Jakarta, ditentang di Filipina.

ANCAMAN budayawan dan sastrawan Mochtar Lubis untuk mengembalikan
Hadiah Magsaysay yang diterimanya tahun 1958 tak cuma gertak
sambal. Dalam suasana serba salah di kantor pusat Yayasan Ramon
Magsaysay di Manila, Filipina, Rabu pekan lalu, Ketua Yayasan
Ramon Magsaysay, Bienvenido A. Tan, menerima pengembalian itu.

Mochtar tampak tersenyum lebar ketika memulangkan medali
bergambar almarhum Presiden Ramon Magsaysay yang sekitar 37 tahun
disimpannya. Pada kesempatan yang sama, Mochtar menyerahkan pula
US$ 1.000, sebagai angsuran pertama US$ 5.000, hadiah uang yang
pernah diterimanya dari Yayasan Magsaysay. Sisanya akan
dibayarnya bertahap.

Bienvenido menerima semua pengembalian itu dengan senyum tertahan
dan pandangan kecewa. Mochtar tampaknya mengerti bagaimana
perasaan Bienvenido. Maka dengan mencoba tetap tersenyum ramah,
ia mengucapkan sambutan singkat yang menghibur di hadapan sekitar
40 hadirin, belum termasuk wartawan. “Saya mengembalikan
penghargaan ini dengan berat hati, karena saya sangat menghargai
dan menghormati Presiden Ramon Magsaysay. Tapi justru karena
menghargai dan mencintai beliau saya merasa berkewajiban
mengembalikan penghargaan ini,” begitu ujar Mochtar seperti
dikutip Manila Bulletin, 31 Agustus silam. Bienvenido menjawab,
“Kami juga tak ingin melakukan semua ini. Apa yang terjadi di
antara kita semata-mata hanyalah perbedaan pendapat,” tutur
Bienvenido.

Itulah puncak drama seniman yang dalam beberapa minggu terakhir
menjadi bahan perdebatan. Seperti diberitakan media massa, Juli
silam, Yayasan Magsaysay mengumumkan akan memberikan Hadiah
Magsaysay kepada empat tokoh Asia. Satu di antaranya Pramoedya
Ananta Toer, bekas tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang
dibentuk Partai Komunis Indonesia (PKI) di zaman Orde Lama.

Yayasan Magsaysay menyebut Pramoedya sebagai sastrawan dan
wartawan yang tak henti-hentinya membuahkan karya yang
berkualitas. Perburuan, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Nyanyi
Sunyi Seorang Bisu, dan sejumlah karya Pram lainnya, menurut
Yayasan Magsaysay, menunjukkan konsistensi dan keprihatinannya
yang mendalam terhadap penderitaan manusia di tengah perang,
pergolakan, dan kemiskinan yang parah.

Mendengar pengumuman Yayasan Magsaysay tersebut, permulaan
Agustus lalu, tak kurang dari 26 seniman dan budayawan terkemuka
Indonesia mengeluarkan pernyataan keras. Mereka antara lain H.B.
Jassin, Wiratmo Soekito, Taufiq Ismail, D.S. Moeljanto, Bokor
Hutasuhut, dan Mochtar Lubis.

Isi pernyataan itu memang tak secara ekplisit mendesak Yayasan
Magsaysay untuk membatalkan keputusan memberi hadiah kepada Pram.
Mereka hanya mendakwa yayasan telah melupakan peran tak terpuji
Pram di zaman Demokrasi Tepimpin pada tahun 1960-an, tatkala
tokoh Lekra ini terlibat memasung gerakan untuk memperjuangkan
kebebasan kreatif. Umpamanya Pram mengelu-elukan pembakaran buku
karya lawan-lawannya di Jakarta dan Surabaya. “Rasanya sangat
ironis bila dengan keputusan tersebut Pramoedya duduk sebangku
dengan pemenang Magsaysay Mochtar Lubis dan H.B. Jassin,”
demikian sebagian bunyi pernyataan itu.

Tak lupa mereka menjelaskan sosok Mochtar sebagai pejuang
kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia tulen. Begitu pula
H.B. Jassin. Di akhir pernyataan itu mereka menilai, dengan
memberikan hadiah kepada Pram, Yayasan Magsaysay mendukung tindak
penindasan kebebasan kreatif. Mochtar sendiri meluncurkan
ancaman. “Jika hadiah itu tetap diberikan kepada Pram, saya akan
mengembalikan Hadiah Magsaysay yang pernah saya terima,” katanya.

Pada akhirnya keputusan Yayasan Magsaysay tak berubah, meski
mengaku memahami ketidakpuasan 26 seniman Indonesia. “Kami tahu
Pramoedya adalah seniman Lekra, tapi ia sudah membayar mahal
dengan mendekam 15 tahun di Pulau Buru. Tapi alasan utama mengapa
kami memberikan hadiah kepada Pram adalah karena melihat kualitas
karya-karyanya,” demikian kata Bienvenido ketika dihubungi lewat
telepon oleh Akmal Nasery dari Gatra

Kamis pekan lalu _ sehari setelah Mochtar mengembalikan hadiahnya
_ istri Pram, Maemunah Thamrin, mewakili suaminya untuk menerima
medali dan uang US$ 50.000 (lebih dari Rp 100 juta) dari Yayasan
Magsaysay. Acara penyerahan itu berlangsung di gedung Pusat
Kebudayaan Filipina, Manila, disaksikan sekitar 500 hadirin.
Pram
sendiri tak bisa hadir karena tak memperoleh paspor.

Di Jakarta, peristiwa pemberian hadiah untuk Pram itu mendapat
dukungan lebih dari 150 orang dari berbagai profesi, antara lain
Bintang Pamungkas, Sukmawati Soekarnoputeri, Marianne Katoppo,
Ariel Heryanto, dan Nirwan Dewanto. Nama lainnya kurang dikenal,
mungkin terdiri dari anak muda yang lahir setelah tahun 1965.
Tanggal 30 Agustus _ persis ketika Mochtar mengembalikan
hadiahnya _ mereka membuat pernyataan mendukung Pram. Alasannya,
antara lain, karya Pram telah memperkaya kehidupan intelektual
dan kebudayaan Indonesia.

Tapi sebaliknya di Filipina, sejumlah penulis dan budayawan
setempat, justru mengecam keputusan Yayasan Magsaysay. Misalnya
F. Sionil Jose (penulis) dan Belen Abreu (bekas komisaris
eksekutif Yaysan Magsaysay). Jose yang pernah berada di Indonesia
pada tahun 1960-an mengaku tahu persis latar belakang Pramoedya.
“Ia bertanggung jawab atas dipenjarakannya penulis-penulis
Indonesia yang bertentangan dengannya,” kata Jose, yang
diwawancarai wartawan Filipina.

(Priyono B. Sumbogo dan Akmal Nasery Basral)

Jenazah Mochtar Lubis Telah Dimakamkan (KCM)

Kompas Cyber Media
Updated: Sabtu, 03 Juli 2004, 14:28 WIB

Jenazah Mochtar Lubis Telah Dimakamkan
Jakarta, Sabtu


Jenazah wartawan senior dan budayawan Mochtar Lubis, Sabtu (3/7) siang
dimakamkan di TPU Jeruk Purut, Jakarta Selatan. Pusara Mochtar terletak di
samping makam istrinya, Siti Halimah, yang meninggal pada 27 Agustus 2001.

Mochtar meninggal pada Jumat (2/7), pukul 19.00 WIB, di Rumah Sakit Medistra,
Jakarta Selatan, karena penyakit paru-paru.
Mochtar meninggalkan tiga anak,
dua lelaki dan satu perempuan.

Dalam prosesi pemakaman yang dihadiri ratusan kerabat dan handai taulan itu,
jenazah dimasukkan ke liang lahat tepat pukul 13.00 WIB. Tampak di antara para
pelayat Ketua PWI Pusat Tarman Azzam, para wartawan senior Aristides Katoppo
dan Rosihan Anwar, Des Alwi, sastrawan Ramadhan KH, pengacara senior Adnan
Buyung Nasution, dan beberapa wartawan senior lainnya. Mereka menabur bunga di
pusara almarhum.

Sementara itu, di sekeliling pusara Mochtar ada karangan-karangan bunga tanda
turut berduka cita dari antara lain Presiden Megawati Soekarnoputri, Taufik
Kiemas, Adnan Buyung Nasution, dan Kepala BIN Hendropriyono.

Puluhan wartawan media cetak dan elektronik turut meliput prosesi pemakaman
tersebut.

Mochtar lahir di Padang, Sumatera Barat, 7 Maret 1922. Ia si nomor enam dari
10 bersaudara. Ayahnya, Raja Pandapotan Lubis, pegawai Pangreh Praja atau
Binnenlands Bestuur (BB) pemerintah kolonial Hindia Belanda, yang ketika
pensiun pada pertengahan 1930-an menjabat sebagai Demang atau Kepala Daerah
Kerinci.

Mochtar tamat sekolah dasar berbahasa Belanda, HIS, di Sungai Penuh. Kemudian,
ia melanjutkan studinya di sekolah ekonomi partikelir di Kayutanam. Pendidikan
formalnya tidak sampai pada taraf AMS atau HBS.

Sebelum hijrah ke Jakarta, Mochtar sempat menjadi sempat menjadi guru sekolah
di Pulau Nias, Sumatera Utara. Ia mengawali karier kewartawanannya dengan
menjadi Redaktur Radio Militer. Pada 1945 ia bekerja sebagai wartawan di LKBN
ANTARA, lalu pindah ke Harian Merdeka.

Almarhum juga pernah menjadi pemimpin redaksi di sejumlah penerbitan seperti
majalah Mutiara, harian Indonesia Raya, dan majalah sastra Horison. Ia pernah
pula menjadi Direktur Yayasan Obor Indonesia, yang banyak menerbitkan buku
sosial, sastra, dan budaya.

Sejumlah penghargaan telah diperolehnya. Antara lain, Ramon Magsaysay dari
Filipina (1974) dan Pena Emas dari World Paper, sebuah wadah pemimpin redaksi
sedunia. Ia juga telah menerima sejumlah hadiah sastra dari Badan Musyawarah
Kebudayaan Nasional untuk sejumlah karyanya.

Bersama sejumlah sastrawan lain Angkatan 66, seperti Taufik Ismail, Mochtar
turut berperan dalam melawan para sastrawan kiri yang tergabung dalam Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra) dengan tokohnya Pramudya Ananta Toer.

Selain Harimau-Harimau, beberapa novel karya Mochtar yang terkenal adalah
Senja di Jakarta, Jalan Tak Ada Ujung, Berkelana dalam Rimba, dan Maut dan
Cinta. (Ant/Ati)

http://www.kompas.co.id/gayahidup/news/0407/03/143503.htm

Biografi Mochtar Lubis (Figur Publik)

Biodata

Nama :
Mochtar Lubis

Tempat/Tgl. Lahir :
Padang, 7 Maret 1922

Agama : Islam

Isteri:
Halimah, 77 tahun, tutup usia pada 27 Agustus 2001

Karir :
* Sastrawan
* Wartawan KBN Antara
* Pemred Harian Indonesia Raya
* Pendiri majalah sastra Horison
* Direktur Yayasan Obor Indonesia

Pendidikan :
* HIS di Sungai Penuh

* Organisasi :
* Press Foundation of Asia

Penghargaan :
* Magsaysay Award untuk jurnalistik dan kesusastraan

Novel :
* Harimau, Harimau!, Senja di Jakarta, Jalan Tak Ada Ujung, Berkelana Dalam Rimba.

* Alamat : Jakarta

Mochtar Lubis,
Pahlawan di Pentas Jurnalistik

Pemred mantan Harian Indonesia Raya ini pernah dipenjara karena karya-karya jurnalistiknya. Wartawan senior ini lahir di Padang, Sumatera Barat, 7 Maret 1922. Setelah tamat sekolah dasar berbahasa Belanda HIS di Sungai Penuh, dia melanjutkan pelajaran di sekolah ekonomi partikelir di Kayutanam. Pendidikan formalnya tidak sampai pada taraf AMS atau HBS.

Namun, putera Pandapotan Lubis, pegawai Pangreh Praja atau binnenlands bestuur (BB) pemerintah kolonial Hindia Belanda yang ketika pensiun pertengahan 1930-an menjabat sebagai Demang atau Kepala Daerah Kerinci, ini sempat menjadi guru sekolah di Pulau Nias, sebelum datang ke Jakarta. Ia memang seorang otodidak tulen.

Pada zaman Jepang, ia bekerja sebagai anggota tim yang memonitor siaran radio Sekutu di luar negeri. Berita yang didengar lalu dituliskan dalam laporan untuk disampaikan kepada Gunseikanbu, kantor pemerintah bala tentara Dai Nippon. Demi sekuriti dan agar berita radio itu tidak tersebar ke dalam masyarakat, tim monitor tinggal terpisah dalam kompleks perumahan di Jalan Timor, di belakang hotel milik Jepang, di Jalan Thamrin sekarang. Dalam tim itu terdapat Dr. Janssen mantan pegawai Algemene Secretarie di Bogor yang paham bahasa Jepang, J.H. Ritman mantan Pemred Harian Bataviaasche Nieuwsblad, Thambu mantan wartawan Ceylon yang melarikan diri dari Singapura setelah kota itu jatuh ke tangan Jepang dan Mochtar Lubis. Pada masa itulah, akhir 1944, Lubis menikah dengan gadis Sunda, Halimah, yang bekerja di Sekretariat Redaksi Harian Asia Raja. (Halimah meninggal pada usia 77 tahun, 27 Agustus 2001).

Setelah proklamasi kemerdekaan dan kantor berita Antara yang didirikan tahun 1937 oleh Adam Malik dkk muncul kembali. Mochtar Lubis bergabung dengan Antara. Karena paham bahasa Inggris secara aktif, ia menjadi penghubung dengan para koresponden asing yang mulai berdatangan ke Jawa untuk meliput kisah Revolusi Indonesia. Sosoknya yang tinggi 1.85 meter merupakan pemandangan familier di tengah war correspondents yang bule-bule. Menjelang penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) 27 Desember 1949, ia bersama Hasjim Mahdan mendapat ide untuk memulai surat kabar baru. Maka lahirlah harian Indonesia Raya. Mochtar Lubis sebagai pemrednya. Ketika pertengahan 1950 pecah Perang Korea, Lubis pergi meliput pertempuran di Korea Selatan. Lalu ia pun terkenal sebagai koresponden perang. Pada parohan pertama dasawarsa 1950, ketika di zaman liberal, demokrasi parlementer, sangat dominan adanya personal journalism. Maka, Moctar Lubis adalah identik dengan Indonesia Raya, begitu pula sebaliknya. Surat kabar dikenal oleh yang memimpinnya: B.M. Diah di Merdeka, S Tasrif di Abadi, Rosihan Anwar di Pedoman.

Sebelum dikenai tahanan rumah pada 1957 dan tahanan penjara selama sembilan tahun sampai 1966, menurut penuturan H. Rosihan Anwar, Mochtar Lubis membikin masyarakat gempar dengan beberapa cerita/berita, yang disebut "affair". Pertama, affair pelecehan seksual yang dialami Nyonya Yanti Sulaiman, ahli purbakala, pegawai Bagian Kebudayaan Kementerian P & K. Bosnya di bagian itu bernama Sudarsono tidak saja berusaha merayu, melainkan juga mengeluarkan kata-kata seks serba "serem".
Tidak saja Indonesia Raya, melainkan juga Pedoman berhari-hari menyiarkan cerita asyik tentang sang Don Juan Sudarsono. Kedua, affair Hartini ketika terungkap hubungan Presiden Soekarno dengan seorang wanita di Salatiga yang mengakibatkan Nyonya Fatmawati berang dan kemudian meninggalkan istana.

Ketiga, affair Roeslan Abdulgani. Pada 13 Agustus 1956, CPM menangkap mantan Menteri Penerangan dalam kabinet Burhanuddin Harahap, Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe, karena urusan korupsi yang melibatkan Lie Hok Thay yang lebih dulu ditahan. Hok Thay mengaku memberikan uang satu setengah juta rupiah kepada Roeslan Abdulgani yang berasal dari ongkos mencetak kartu suara pemilu. Akibatnya, Roeslan yang telah menjadi Menteri Luar Negeri dalam kabinet Ali Sastroamidjojo hendak ditahan oleh CPM dua jam sebelum keberangkatannya tanggal 14 Agustus ke London untuk menghadiri konferensi internasional mengenai Terusan Suez. Presiden Mesir Nasser baru saja menasionalisasikan Suez. Berkat intervensi PM Ali dan Kepala Staf Nasution, penangkapan dibatalkan, dan Roeslan bisa berangkat ke luar negeri.

Dapat dimengerti apabila Presiden Soekarno yang tengah mewujudkan konsep politiknya --kelak menjelma sebagai demokrasi terpimpin Orde Lama-- marah-marah terhadap Lubis dan Indonesia Raya. Kolonel A.H. Nasution menjadi sekutu terpercaya Soekarno. Di musim gugur 1956, International Press Institute menyelenggarakan pertemuan para editor Indonesia dan editor Belanda di Zurich, Swiss, untuk mendiskusikan hubungan kedua negara. Sehari sebelum keberangkatan para editor, Mochtar dan Rosihan Anwar diinterogasi oleh CPM selama delapan jam di markasnya mengenai "sesuatu pemberitaan". Mereka diminta untuk stand by terus, namun tidak mereka indahkan.
Keesokan harinya, Mochtar dan Rosihan Anwar serta Diah, Tasrif, Wonohito, Adam Malik naik pesawat KLM dari Kemayoran. Lebih dari sebulan mereka berada di luar negeri menunggu situasi aman di Tanah Air. Kemudian mereka kembali dan di bandara diberitahu, mereka tidak akan ditangkap oleh Jaksa Agung. Rosihan Anwar memang tidak diapa-apakan, tetapi Mochtar tidak lama kemudian dikenai tahanan rumah. Ia mencoba memimpin Indonesia Raya dari rumah, tapi makin hari makin sulit situasinya. Pada 1961, ia dipindahkan ke penjara Madiun dan di sana ditahan bersama mantan PM Sjahrir, Mohammad Roem, Anak Agung Gde Agung, Sultan Hamid, Soebadio Sastrosatomo dan lain-lain. Keadaan di Tanah Air kacau. Peristiwa PRRI-Permesta menggoyahkan stabilitas. Kebebasan pers sirna. Indonesia Raya, Pedoman, Abadi dilarang terbit oleh Soekarno-Nasution.

Selain sebagai wartawan, Mochtar Lubis juga dikenal sebagai sastrawan. Ia pandai pula melukis dan membuat patung dari keramik. Mulanya dia menulis cerpen dengan menampilkan tokoh karikatural si Djamal. Kemudian dia bergerak di bidang penulisan novel. Di antara novelnya dapat disebut: Harimau, Harimau!, Senja di Jakarta, Jalan Tak Ada Ujung, Berkelana Dalam Rimba. Dia memperoleh Magsaysay Award untuk jurnalistik dan kesusastraan.
Setelah tahun 1968 Indonesia Raya diizinkan terbit kembali, Lubis melancarkan "perang salibnya" terhadap korupsi di Pertamina. Bos perusahaan negara itu, Letnan Jenderal Ibnu Soetowo, disorot dengan tajam, namun sia-sia belaka. Ibnu boleh mundur sebagai Direktur Utama Pertamina, akan tetapi posisinya tetap kokoh dan harta yang dikumpulkannya tidak dijamah. Mochtar lubis memang menjadi pahlawan di pentas jurnalistik, itulah yang amat disukainya. Apakah soalnya menyangkut pencemaran lingkungan hidup atau pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM), bisa dijamin ia ada di sana sebagai pembela perjuangan untuk yang benar dan adil. "Hero-complex"-nya menjadi motor pendorong dan motivasi penting dalam tindak-tanduknya.
Ketika terjadi peristiwa Malari Januari 1974 dan para mahasiswa beraksi mendemo PM Tanaka dari Jepang, kebakaran terjadi di Pasar Senen, disulut oleh anak buah Ali Moertopo, Presiden Soeharto jadi gelagapan. Ia instruksikan membredel sejumlah surat kabar, di antaranya Indonesia Raya, Pedoman, dan Abadi. Lubis sendiri ditahan selama dua bulan. Setelah bebas lagi bergerak, Mochtar banyak aktif di pelbagai organisasi jurnalistik luar negeri seperti Press Foundation of Asia. Di dalam negeri, dia mendirikan majalah sastra Horison dan menjadi Direktur Yayasan Obor Indonesia yang berprestasi menerbitkan buku-buku bermutu, baik yang dari luar negeri maupun domestik. Usaha penerbitan itu bisa tinggal landas lantaran yayasan ini memperoleh dana dari luar, seperti Ivan Kats dari Asia Foundation. Sesungguhnya, salah satu ciri khas Mochtar Lubis ialah PR (public relations) yang kuat, keluwesan bergaul, antusiasme terhadap sesuatu cause seperti ekologi, demokrasi, keadilan, dan hukum. Pintu yang diketoknya menjadi terbuka dan soal pendanaan tak jadi masalah.

Pada saat acara HUT ke-80 Mochtar Lubis, 9 Maret 2002 lalu, seorang pembicara dari LIPI, yaitu Dr. Mochtar Pabottinggi, menamakan Mochtar sebagai "person of character", insan nan berwatak. Di negeri kita sekarang, makin langka "person of character" itu. Bung Hatta di zaman Pendidikan Nasional Indonesia awal 1930-an suka menyerukan agar tampillah manusia-manusia yang punya karakter. Ibu Pertiwi tetap mengharapkan dan memerlukan banyak "person of character". Maka, tutur wartawan senior H. Rosihan Anwar, dalam kolomnya di Majalah Gatra Nomor 17 Tahun ke VIII, 11 Maret 2002, yang menjadi sumber artikel ini: "Dalam cahaya, kita menghormati wartawan Mochtar Lubis yang sudah sepuh. Sudah saatnya dia dianugerahi tanda kehormatan Bintang Mahaputra oleh Presiden RI."(Tokoh Indonesia, dari berbagai sumber)

In Memoriam Mochtar Lubis (Pikiran Rakyat)

In Memoriam Mochtar Lubis, Wartawan dan Sastrawan Besar
Selalu Berusaha Menegakkan Kebenaran
Oleh Muhammad Ridlo 'Eisy

Di mana ada ujung jalan perjoangan dan perburuan manusia mencari bahagia? Dalam hidup manusia selalu setiap waktu ada musuh dan rintangan-rintangan yang harus dilawan dan dikalahkan. Habis satu muncul yang lain, demikian seterusnya. Sekali kita memilih jalan perjoangan, maka itu jalan tidak ada ujungnya. Dan kita, engkau, aku, semuanya telah memilih jalan perjoangan. (Mochtar Lubis, "Jalan Tak Ada Ujung", Pustaka Jaya, 1971, halaman 46).

JUMAT, 2 Juli 2004, pukul 19.15 wib, Mochtar Lubis wafat. Perjalanan lelaki yang selama hidupnya memilih jalan perjuangan mencari kebahagiaan manusia dan berusaha membentuk keadaan masyarakat agar lebih mudah mencari kebahagiaan itu, telah berakhir. Ia kini menuju ke arah kebahagiaan abadi, menghadap Ilahi Rabbi.

Namun, seperti yang ditulisnya sendiri dalam buku "Jalan Tak Ada Ujung", perjuangan menuju kebahagiaan manusia memang tiada ujungnya. Sadar atau tidak sadar, mau atau tidak mau, setiap manusia berjuang untuk mencari kebahagiaan bagi dirinya, bagi keluarganya, dan bagi lingkungan yang lebih luas.

Mochtar Lubis memilih lapangan kewartawanan dan kesusastraan sebagai alat perjuangannya. Karya sastra dan karya jurnalistiknya kini menjadi warisan bagi umat manusia, khususnya warga Indonesia. Salah satu karya jurnalistiknya yang monumental adalah waktu harian "Indonesia Raya" membongkar korupsi di Pertamina di akhir tahun 1960-an. Korupsi dalam tubuh Pertamina bukan saja hampir menenggelamkan Pertamina sendiri, tetapi juga perekonomian bangsa. Pertamina diselamatkan pemerintah pada pertengahan dekade 1970-an. Jika saja pemerintahan Orde Baru mendengarkan kritik yang dilontarkan Mochtar Lubis dan jajaran harian "Indonesia Raya", kemungkinan kerugian yang sedemikian besar bisa dicegah lebih awal.

Tak terhitung warisan jurnalistik yang ditinggalkan Mochtar Lubis bagi kewartawanan. Yang patut dicatat di sini adalah cara Mochtar Lubis dalam melahirkan karya-karyanya. Ia sangat menjunjung tinggi etika jurnalistik. Ia tidak memperkenankan wartawannya menyamar dalam investigative reporting. Ia tidak akan memuat berita yang tidak didukung oleh fakta. Ia juga meletakkan dasar-dasar independensi wartawan, seperti yang ditulisnya dalam tajuk rencana nomor pertama "Indonesia Raya" tanggal 29 Desember 1949:

"Dalam badan penerbitan ini tergabung wartawan-wartawan Indonesia yang berpendirian merdeka, wartawan-wartawan yang tidak diikat oleh pendirian partai atau sesuatu golongan. Yang dikejar oleh mereka hanya tujuan-tujuan jurnalistik semata-mata, yaitu mempertahankan kemerdekaan pers nasional yang kuat dan bebas dan mempertinggi mutunya jurnalistik Indonesia sejalan dengan kemajuan di lain lapangan yang kini diperjuangkan dengan hebat oleh segenap bangsa Indonesia. ... Bagi kami terutama sekali kebenaran dan obyektivitas akan terus menjadi obor dan pegangan dalam usaha. Kami akan menghindarkan diri dari politik pemberitaan yang berat sebelah, yang menguntungkan satu golongan dan merugikan golongan lain."

Sikap Mochtar Lubis itu merupakan sebuah "kemewahan" pada masa Orde Baru, tapi pada masa reformasi ini hampir semua media cetak mengambil sikap seperti yang diambil oleh Mochtar Lubis. Bahkan negara melalui UU No. 32/2002 tentang Penyiaran mewajibkan lembaga penyiaran bersikap independen.

Untuk menegakkan kebenaran itulah Mochtar Lubis dipenjara oleh Orde Lama maupun Orde Baru. Ia masuk tahanan pada tanggal 22 Desember 1956 dan menghirup kemerdekaan setelah Orde Lama tumbang pada tahun 1966. Buku harian selama dipenjara diterbitkan dalam buku "Catatan Subversif" (Sinar Harapan, 1980). Dalam pengantar buku itu Mochtar Lubis menulis:

"Pelajaran yang dapat ditarik, menurut hematku, dari pengalaman buruk yang diderita bangsa Indonesia di bawah telapak kaki rezim Soekarno, adalah bagaimana jangan memimpin bangsa dan negara dengan kebohongan, kepalsuan, kerakusan pada kekuasaan, pelanggaran hukum dan undang-undang, mimpi-mimpi palsu yang didorong ambisi kebesaran pribadi. Pelajaran ini baik direnungkan para pemegang kekuasaan. Pelajaran lain adalah untuk rakyat dan bangsa kita sendiri, agar jangan mau tertipu dan terpesona dengan kata-kata indah, janji-janji muluk, tetapi agar senantiasa waspada mencocokkan kata dengan perbuatan pemimpin dan penguasa."

Malu kepada para pejuang

Kutipan-kutipan di atas adalah sedikit cuplikan dari begitu banyak warisan tokoh wartawan yang sangat mengagumkan itu. Pada waktu Orde Baru pun Mochtar Lubis harus masuk tahanan beberapa bulan setelah Peristiwa 15 Januari 1974 atau yang lebih dikenal dengan istilah "Malari", dan harian "Indonesia Raya" kembali dilarang terbit.

Sewaktu ia berceramah di ITB tahun 1979, saya bertanya kepadanya mengapa ia tidak berkompromi dengan pemerintah untuk menandatangani surat pernyataan yang dibuat Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban), apakah ia tidak memikirkan nasib karyawannya, agen-agen korannya dengan seluruh lopernya.

Dengan tenang Mochtar Lubis menjawab bahwa ia sangat memikirkan nasib seluruh karyawannya. Ia turut mencarikan pekerjaan para karyawannya setelah "Indonesia Raya" diberedel. Tentang nasib agen-agen dan seluruh lopernya, ia berkeyakinan akan tetap baik, karena masih ada koran-koran yang terbit. "Saya tidak mau menandatangani surat pernyataan yang disodorkan pemerintah," kata Mochtar Lubis, "karena malu kepada teman-teman saya pejuang kemerdekaan."

Ia menguraikan, teman-temannya berjuang memerdekakan Indonesia dengan mengorbankan jiwa dan raganya. Banyak di antara temannya yang gugur dalam perjuangan itu. "Teman-teman saya rela mengorbankan nyawanya untuk kemerdekaan Indonesia. Apakah saya tidak mau mengorbankan koran saya untuk memperjuangkan kemerdekaan yang serupa, yaitu kemerdekaan pers?," katanya.

Individu dan negara

Memang Mochtar Lubis adalah pejuang kemerdekaan. Pernah ia akan mengangkat senjata dan bergabung dalam perjuangan fisik pada masa kemerdekaan. Namun, atas saran Adam Malik (almarhum) ia kembali berjuang dengan menggunakan media. Adam Malik berkata, sudah banyak orang yang berjuang dengan senjata, tapi masih sedikit yang berjuang dengan pena.

Gagasan Mochtar tentang negara yang dicita-citakannya disampaikan secara tidak langsung dalam novel "Jalan Tak Ada Ujung". Ia menulis:

"Bagiku individu itu adalah tujuan, dan bukan alat mencapai tujuan. Kebahagiaan manusia adalah dalam perkembangan orang seorang yang sempurna dan harmonis dengan manusia lain. Negara hanyalah alat. Dan individu tidak boleh diletakkan di bawah negara. Ini musik hidupku. Ini perjuanganku. Ini jalan tak ada ujung yang kutempuh. Ini revolusi yang kita mulai. Revolusi hanya alat mencapai kemerdekaan. Dan kemerdekaan juga hanya alat memperkaya kebahagiaan dan kemuliaan penghidupan manusia-manusia."

Pandangan Mochtar Lubis ini jelas bertentangan dengan pandangan totaliter yang menempatkan negara di atas segala-galanya. Manusia hanya alat. Demi kejayaan negara kalau perlu warga negara dikorbankan. Faham totaliterianisme ini menyusup ke berbagai ideologi dan aliran-aliran dalam agama. Komunisme, fasisme, Nazi, Orde Lama, maupun Orde Baru menganut jalan hidup totaliterianisme. Salah satu ciri totaliterianisme adalah adanya penguasa yang memonopoli kebenaran dan hanya dialah yang berhak mengatasnamakan negara.

Alhamdulillah cita-cita Mochtar Lubis tentang negara ini sebagian telah mewujud dalam Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945, khususnya dengan dimasukkannya perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM). Jangan sampai perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia ini tergusur lagi, walaupun oleh Komisi Konstitusi.

Sastrawan besar

Perkenalan saya kepada Mochtar Lubis semakin dekat setelah saya menjadi wartawan Pikiran Rakyat tahun 1982. Dan menjadi semakin akrab lagi setelah saya mengikuti Konferensi Sastrawan Asia Tenggara 1985 di Bali dan 1987 di Singapura. Saya mengamati, begitu hormatnya para sastrawan se-Asia Tenggara kepada beliau. Mochtar Lubis bukan hanya seorang wartawan yang teguh memegang prinsip, tetapi juga sastrawan besar yang karyanya sangat indah dan penuh pesan. Oleh karena itu, sangat wajar apabila karya-karya Mochtar Lubis mendapat penghargaan baik di tingkat nasional maupun internasional. Begitu halus pesannya disisipkan ke dalam setiap kisah, sehingga tidak terasa bagi yang membacanya.

Dalam novelnya yang berjudul "Harimau, Harimau", Mochtar Lubis menyisipkan nasihat: "Setiap orang wajib melawan kezaliman di mana pun kezaliman itu berada. Salahlah bagi orang memencilkan diri, dan pura-pura menutup mata terhadap kezaliman yang menimpa diri orang lain."

Mochtar Lubis telah mempraktikkan perlawanan terhadap kezaliman melalui karya sastra dan karya jurnalistik. Seringkali saya mendapat nasihat beliau untuk tetap tabah sebagai wartawan, karena beban wartawan sekarang ini semakin berat. Nasihat itu disampaikan di berbagai kesempatan di sela-sela makan siang di rumahnya. Masakan Ibu Mochtar, Ibu Hally sangat lezat, khususnya sambal bikinannya. Kecintaannya kepada istrinya sangat luar biasa. Pada tahun 1998, saat saya berkunjung ke rumah beliau untuk mengajak memperjuangkan kemerdekaan pers, dengan menyusun Undang-Undang Pers yang baru, beliau sangat senang, tetapi beliau tidak mungkin aktif secara fisik. Beliau mengatakan bahwa ibu sedang sakit, dan ia harus merawatnya sendiri. "Bertahun-tahun ibu merawat saya, khususnya waktu saya di penjara. Sekarang giliran saya untuk membahagiakan ibu," katanya.

Pernah Pak Atmakusumah, mantan Ketua Dewan Pers, menuturkan bahwa Pak Mochtar bertanya tentang istrinya waktu ia dirawat di rumah sakit. "Tentu saja saya katakan baik-baik saja di rumah," kata Pak Atma, "Padahal Ibu Hally berada di rumah sakit juga, di sebelah kamar Pak Mochtar."

Kini Mochtar Lubis telah pergi selama-lamanya. Namun karya-karyanya dan pesan-pesannya masih hidup bersama kita sampai sekarang. Alangkah relevan penutup ceramahnya di Gedung Kebangkitan Nasional Jakarta, tanggal 30 Januari 1978:

"Pada akhirnya saya memberanikan diri berbicara untuk yatim piatu bangsa kita, jumlah 50 persen yang masih berada di bawah garis kemiskinan, yang masih menderita kekurangan kalori dan protein, dengan segala akibatnya yang buruk bagi perkembangan mereka sejak bayi hingga menjadi dewasa, dan pula untuk hari depan dan generasi-generasi yang akan datang di tanah air kita, nasib mereka ditentukan oleh apa yang kita lakukan atau tidak kita lakukan hari ini. Untuk merekalah saya berdiri di sini hari ini, menyampaikan hati nurani saya sebagai seorang anak Indonesia, didorong oleh cinta dan kasih saya kepada rakyat dan tanah air Indonesia."***

- Muhammad Ridlo 'Eisy adalah anggota Dewan Redaksi Harian Pikiran Rakyat.

Obituari Mochtar Lubis (Tempo Interaktif)

Obituari

Mochtar Lubis Meninggal Dunia
Jum'at, 02 Juli 2004 | 22:04 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Mochtar Lubis, wartawan senior yang juga sastrawan, meninggal dunia, Kamis (2/7), sekitar pukul 19.00 WIB di Rumah Sakit Medistra Jakarta. Saat ini jenazahnya masih berada di RS Medistra. Rencananya, jenasah akan dibawa ke rumah duka di Jl. Bonang No. 17 Jakarta, sekitar pukul 22.00 WIB.

Menurut suster pribadi Mochtar Lubis, Minah, jenazah dirawat sejak kamis minggu lalu, dan dua hari sebelumnya Muchtar menderita batuk-batuk. "Bapak sudah lama menderita asma," tutur Minah ketika ditemui Tempo News Room di rumah almarhum.

Pria kelahiran Maret 1922 ini pernah menjadi pemimpin umum Majalah Sastra Horison dan Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya. Selain itu ia juga kolumnis di Kompas, Sinar Harapan, Tempo, dan Fokus. Beberapa cerita pendek yang dihasilkannya antara lain Harimau! Harimau!, Perempuan-Perempuan, dan Si Djamal. Almarhum meninggalkan tiga orang putra.

Biografi Mochtar Lubis (Tokoh Indonesia DotCom)

Mochtar Lubis (1922-2004)

Pahlawan di Pentas Jurnalistik


Pemred mantan Harian Indonesia Raya ini meninggal dunia di RS Medistra, Jakarta pukul 19.15 WIB Jumat 2 Juli 2004. Selain sebagai wartawan, penerima Magsaysay Award untuk jurnalistik dan kesusastraan, ini juga dikenal sebagai sastrawan. Pandai pula melukis dan membuat patung dari keramik. Mulanya dia menulis cerpen dengan menampilkan tokoh karikatural si Djamal, kemudian menulis novel. Di antara novelnya: Harimau, Harimau!, Senja di Jakarta, Jalan Tak Ada Ujung, Berkelana Dalam Rimba.

Disemayamkan di rumah duka, kemudian siang usai salat Zuhur, almarhum dimakamkan di TPU Jeruk Purut, Jakarta Selatan, Sabtu 3 Juli 2004. Dia meninggalkan tiga anak, yakni Indrawan Lubis, 58, Arman Lubis, 52, dan Yana Zamin Lubis, 50 serta 8 cucu. Istrinya, Halimah, sudah lebih dulu tutup usia pada 27 Agustus 2001. Sejak kehilangan orang yang sangat dicintainya, kesehatan Mochtar tterus merosot. Ia hanya bisa berbaring di tempat tidur dan sering bertanya, "Di mana Ibu?"

Menurut puteranya, Arman, ayahnya memang sudah lama menderita sakit. Beberapa penyakit yang dideritanya antara lain, penyakit kanker prostat dan alzheimer. Bahkan, tiga tahun terakhir ini sudah tidak bisa berkomunikasi lagi dengan anak-cucunya."

Sepekan sebelum meninggal, dia sesak napas, kerongkongannya penuh lendir, lalu dibawa ke rumah sakit Medistra 23 Juni 2004 dan masuk ruang unit perawatan intensif. Sudah hampir dua tahun dia menderita penyakit alzheimer. Beberapa bulan terakhir nyaris tak lagi mengenal orang yang terdekat dengannya.

Ia pernah dipenjara karena karya-karya jurnalistiknya. Wartawan senior ini lahir di Padang, Sumatera Barat, 7 Maret 1922. Setelah tamat sekolah dasar berbahasa Belanda HIS di Sungai Penuh, dia melanjutkan pelajaran di sekolah ekonomi partikelir di Kayutanam. Pendidikan formalnya tidak sampai pada taraf AMS atau HBS.

Namun, putera Pandapotan Lubis, pegawai Pangreh Praja atau binnenlands bestuur (BB) pemerintah kolonial Hindia Belanda yang ketika pensiun pertengahan 1930-an menjabat sebagai Demang atau Kepala Daerah Kerinci, ini sempat menjadi guru sekolah di Pulau Nias, sebelum datang ke Jakarta. Ia memang seorang otodidak tulen.

Pada zaman Jepang, ia bekerja sebagai anggota tim yang memonitor siaran radio Sekutu di luar negeri. Berita yang didengar lalu dituliskan dalam laporan untuk disampaikan kepada Gunseikanbu, kantor pemerintah bala tentara Dai Nippon. Demi sekuriti dan agar berita radio itu tidak tersebar ke dalam masyarakat, tim monitor tinggal terpisah dalam kompleks perumahan di Jalan Timor, di belakang hotel milik Jepang, di Jalan Thamrin sekarang. Dalam tim itu terdapat Dr. Janssen mantan pegawai Algemene Secretarie di Bogor yang paham bahasa Jepang, J.H. Ritman mantan Pemred Harian Bataviaasche Nieuwsblad, Thambu mantan wartawan Ceylon yang melarikan diri dari Singapura setelah kota itu jatuh ke tangan Jepang dan Mochtar Lubis. Pada masa itulah, akhir 1944, Lubis menikah dengan gadis Sunda, Halimah, yang bekerja di Sekretariat Redaksi Harian Asia Raja. (Halimah meninggal pada usia 77 tahun, 27 Agustus 2001).

Setelah proklamasi kemerdekaan dan kantor berita Antara yang didirikan tahun 1937 oleh Adam Malik dkk muncul kembali. Mochtar Lubis bergabung dengan Antara. Karena paham bahasa Inggris secara aktif, ia menjadi penghubung dengan para koresponden asing yang mulai berdatangan ke Jawa untuk meliput kisah Revolusi Indonesia. Sosoknya yang tinggi 1.85 meter merupakan pemandangan familier di tengah war correspondents yang bule-bule.

Menjelang penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) 27 Desember 1949, ia bersama Hasjim Mahdan mendapat ide untuk memulai surat kabar baru. Maka lahirlah harian Indonesia Raya. Mochtar Lubis sebagai pemrednya. Ketika pertengahan 1950 pecah Perang Korea, Lubis pergi meliput pertempuran di Korea Selatan. Lalu ia pun terkenal sebagai koresponden perang. Pada parohan pertama dasawarsa 1950, ketika di zaman liberal, demokrasi parlementer, sangat dominan adanya personal journalism. Maka, Moctar Lubis adalah identik dengan Indonesia Raya, begitu pula sebaliknya. Surat kabar dikenal oleh yang memimpinnya: B.M. Diah di Merdeka, S Tasrif di Abadi, Rosihan Anwar di Pedoman.

Sebelum dikenai tahanan rumah pada 1957 dan tahanan penjara selama sembilan tahun sampai 1966, menurut penuturan H. Rosihan Anwar, Mochtar Lubis membikin masyarakat gempar dengan beberapa cerita/berita, yang disebut "affair".

Pertama, affair pelecehan seksual yang dialami Nyonya Yanti Sulaiman, ahli purbakala, pegawai Bagian Kebudayaan Kementerian P & K. Bosnya di bagian itu bernama Sudarsono tidak saja berusaha merayu, melainkan juga mengeluarkan kata-kata seks serba "serem". Tidak saja Indonesia Raya, melainkan juga Pedoman berhari-hari menyiarkan cerita asyik tentang sang Don Juan Sudarsono.

Kedua, affair Hartini ketika terungkap hubungan Presiden Soekarno dengan seorang wanita di Salatiga yang mengakibatkan Nyonya Fatmawati berang dan kemudian meninggalkan istana.

Ketiga, affair Roeslan Abdulgani. Pada 13 Agustus 1956, CPM menangkap mantan Menteri Penerangan dalam kabinet Burhanuddin Harahap, Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe, karena urusan korupsi yang melibatkan Lie Hok Thay yang lebih dulu ditahan. Hok Thay mengaku memberikan uang satu setengah juta rupiah kepada Roeslan Abdulgani yang berasal dari ongkos mencetak kartu suara pemilu. Akibatnya, Roeslan yang telah menjadi Menteri Luar Negeri dalam kabinet Ali Sastroamidjojo hendak ditahan oleh CPM dua jam sebelum keberangkatannya tanggal 14 Agustus ke London untuk menghadiri konferensi internasional mengenai Terusan Suez. Presiden Mesir Nasser baru saja menasionalisasikan Suez. Berkat intervensi PM Ali dan Kepala Staf Nasution, penangkapan dibatalkan, dan Roeslan bisa berangkat ke luar negeri.

Dapat dimengerti apabila Presiden Soekarno yang tengah mewujudkan konsep politiknya --kelak menjelma sebagai demokrasi terpimpin Orde Lama-- marah-marah terhadap Lubis dan Indonesia Raya. Kolonel A.H. Nasution menjadi sekutu terpercaya Soekarno. Di musim gugur 1956, International Press Institute menyelenggarakan pertemuan para editor Indonesia dan editor Belanda di Zurich, Swiss, untuk mendiskusikan hubungan kedua negara. Sehari sebelum keberangkatan para editor, Mochtar dan Rosihan Anwar diinterogasi oleh CPM selama delapan jam di markasnya mengenai "sesuatu pemberitaan". Mereka diminta untuk stand by terus, namun tidak mereka indahkan.

Keesokan harinya, Mochtar dan Rosihan Anwar serta Diah, Tasrif, Wonohito, Adam Malik naik pesawat KLM dari Kemayoran. Lebih dari sebulan mereka berada di luar negeri menunggu situasi aman di Tanah Air. Kemudian mereka kembali dan di bandara diberitahu, mereka tidak akan ditangkap oleh Jaksa Agung. Rosihan Anwar memang tidak diapa-apakan, tetapi Mochtar tidak lama kemudian dikenai tahanan rumah. Ia mencoba memimpin Indonesia Raya dari rumah, tapi makin hari makin sulit situasinya. Pada 1961, ia dipindahkan ke penjara Madiun dan di sana ditahan bersama mantan PM Sjahrir, Mohammad Roem, Anak Agung Gde Agung, Sultan Hamid, Soebadio Sastrosatomo dan lain-lain. Keadaan di Tanah Air kacau. Peristiwa PRRI-Permesta menggoyahkan stabilitas. Kebebasan pers sirna. Indonesia Raya, Pedoman, Abadi dilarang terbit oleh Soekarno-Nasution.

Selain sebagai wartawan, Mochtar Lubis juga dikenal sebagai sastrawan. Ia pandai pula melukis dan membuat patung dari keramik. Mulanya dia menulis cerpen dengan menampilkan tokoh karikatural si Djamal. Kemudian dia bergerak di bidang penulisan novel. Di antara novelnya dapat disebut: Harimau, Harimau!, Senja di Jakarta, Jalan Tak Ada Ujung, Berkelana Dalam Rimba. Dia memperoleh Magsaysay Award untuk jurnalistik dan kesusastraan.

Setelah tahun 1968 Indonesia Raya diizinkan terbit kembali, Lubis melancarkan "perang salibnya" terhadap korupsi di Pertamina. Bos perusahaan negara itu, Letnan Jenderal Ibnu Soetowo, disorot dengan tajam, namun sia-sia belaka. Ibnu boleh mundur sebagai Direktur Utama Pertamina, akan tetapi posisinya tetap kokoh dan harta yang dikumpulkannya tidak dijamah. Mochtar lubis memang menjadi pahlawan di pentas jurnalistik, itulah yang amat disukainya. Apakah soalnya menyangkut pencemaran lingkungan hidup atau pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM), bisa dijamin ia ada di sana sebagai pembela perjuangan untuk yang benar dan adil. "Hero-complex"-nya menjadi motor pendorong dan motivasi penting dalam tindak-tanduknya.

Ketika terjadi peristiwa Malari Januari 1974 dan para mahasiswa beraksi mendemo PM Tanaka dari Jepang, kebakaran terjadi di Pasar Senen, disulut oleh anak buah Ali Moertopo, Presiden Soeharto jadi gelagapan. Ia instruksikan membredel sejumlah surat kabar, di antaranya Indonesia Raya, Pedoman, dan Abadi. Lubis sendiri ditahan selama dua bulan.


Setelah bebas lagi bergerak, Mochtar banyak aktif di pelbagai organisasi jurnalistik luar negeri seperti Press Foundation of Asia. Di dalam negeri, dia mendirikan majalah sastra Horison dan menjadi Direktur Yayasan Obor Indonesia yang berprestasi menerbitkan buku-buku bermutu, baik yang dari luar negeri maupun domestik. Usaha penerbitan itu bisa tinggal landas lantaran yayasan ini memperoleh dana dari luar, seperti Ivan Kats dari Asia Foundation. Sesungguhnya, salah satu ciri khas Mochtar Lubis ialah PR (public relations) yang kuat, keluwesan bergaul, antusiasme terhadap sesuatu cause seperti ekologi, demokrasi, keadilan, dan hukum. Pintu yang diketoknya menjadi terbuka dan soal pendanaan tak jadi masalah.

Pada saat acara HUT ke-80 Mochtar Lubis, 9 Maret 2002 lalu, seorang pembicara dari LIPI, yaitu Dr. Mochtar Pabottinggi, menamakan Mochtar sebagai "person of character", insan nan berwatak. Di negeri kita sekarang, makin langka "person of character" itu. Bung Hatta di zaman Pendidikan Nasional Indonesia awal 1930-an suka menyerukan agar tampillah manusia-manusia yang punya karakter. Ibu Pertiwi tetap mengharapkan dan memerlukan banyak "person of character".

Maka, tutur wartawan senior H. Rosihan Anwar, dalam kolomnya di Majalah Gatra Nomor 17 Tahun ke VIII, 11 Maret 2002, yang menjadi sumber artikel ini: "Dalam cahaya, kita menghormati wartawan Mochtar Lubis yang sudah sepuh. Sudah saatnya dia dianugerahi tanda kehormatan Bintang Mahaputra oleh Presiden RI." ►tsl, dari berbagai sumber

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

80 Tahun Mochtar Lubis (Republika)

Republika Online, Selasa, 18-Juni-2002

80 Tahun Mochtar Lubis: Pengelana Sastra Yang Tak Pernah Lelah

Buku ini berisikan kisah petualangan Paman Rokhtam, Aisa, Poni, Rais, Pentil, Adnan, dan Ayang menelusuri rimba Gunung Hitam di Sumatera Barat. Konon, menurut masyarakat sekitar, gunung tersebut tergolong angker. Di sana orang bunian dan satwa liar mengancam nyawa siapa pun yang berani masuk ke dalamnya. Kisah tersebut tidak menyurutkan keenam sahabat itu untuk menjelajahi Gunung Hitam bersama Paman Rokhtam yang sangat bijaksana.

Melalui 'Berkelana dalam Rimba' ini Mochtar juga menyisipkan berbagai pelajaran penting dengan gayanya yang khas. Lihat saja di halaman 39. ''... Jika kita pandai membacanya, rimba belantara terbuka bagi kita seperti sebuah buku....'' Kalimat tersebut dituturkan Paman Rokhtam mengajarkan keenam pemuda itu tentang alam.

Mochtar pun tak luput menyisipkan pesan bahwa perempuan pun sanggup menandingi kekuatan laki-laki. ''Dalam hati mereka masing-masing kagum melihat kedua anak perempuan itu dapat mengikuti mereka.'' Pesan tersebut disampaikannya di halaman 36 yang menggambarkan kekaguman para anak laki-laki atas kemampuan Aisa dan Ayang yang juga mampu mencapai puncak lereng.

Di samping itu, Mochtar juga mengingatkan kembali pelajaran Pramuka seperti tali-temali, cara 'surviving' di rimba, serta tidak ketinggalan berbagai hal tentang flora dan fauna.

Dan tentu saja, di bagian lain, Mochtar akhirnya mengungkap misteri yang menyelimuti Gunung Hitam. Cerita mistik yang tersebar di masyarakat kampung ternyata hanya isapan jempol belaka. Nyatanya bau bangkai yang membuat bulu kuduk masyarakat berdiri berasal dari bunga bangkai Raflesia Arnoldi yang tumbuh di hutan.

Di bab terakhir, Mochtar melukiskan perjalanan tokoh utama tersebut yang akhirnya bertemu dengan para pemburu ilegal. Kerja sama dan rasa saling percaya akan kemampuan sahabat-sahabatnya membuat Paman Rokhtam dan 'pasukan'-nya berhasil membuat pemburu ilegal tersebut tertangkap.

Buku ini dirilis ulang karena pada tahun-tahun terakhir ini ia banyak mencurahkan perhatiannya pada masalah lingkungan hidup. Tulisannya ini diilhami oleh pengalaman ketika remaja bertualang di alam bebas. Buku setebal 186 halaman ini hanyalah satu dari sekian banyak karya Mochtar yang telah terbit.

Sederet penghargaan tingkat nasional maupun internasional pun telah diraih Mochtar atas dedikasinya terhadap dunia sastra.
Golden Pen Award dari International Association of Editors and Publisher ialah salah satunya. Novel 'Harimau! Harimau!' dianugrahi hadiah dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1975. Ia bahkan pernah memperoleh penghargaan Hadiah Sastra dari Yayasan Jalan Raya untuk buku terbaik tahun 1977-1978 berkat bukunya 'Maut dan Cinta.'

Mejalani hidup selama 80 tahun membuat sastrawan angkatan '45 ini memiliki pengalaman hidup yang sarat pelajaran berharga. ''Kita telah menyaksikan betapa konsistennya seorang Mochtar Lubis ketika memperjuangkan prinsipnya. Mochtar telah menyumbangkan amal bakti yang bernas dan berarti bagi bangsa kita,'' ujar Mochtar Pabottingi dalam kata sambutannya ketika perayaan ulang tahun Mochtar Lubis yang bertema ''Mochtar Lubis dan Perjalanannya yang Tak Ada Ujung -- Tak Pernah Selesai'' di Jakarta.

Mochtar Lubis yang juga direktur Yayasan Obor Indonesia ini memang pernah merasakan hidup di bui. Ia terpaksa mendekam dalam tahanan ketika rezim Orde Lama dan Orde Baru. Pengalaman pahit itu terjadi akibat pemikiran-pemikirannya dianggap berbahaya oleh kedua rezim tersebut.

''Meski terpenjara secara jasmani, Bapak tetap bersikukuh pada pendiriannya. Penjara tidak membuatnya surut untuk berkarya,'' ungkap Mira, salah seorang cucu Mochtar melalui surat yang dibacakan saat perayaan ulang tahun yang dihadiri oleh sejumlah tokoh penting itu.

''Korupsi memang seperti tak mati-mati, bahkan makin gila. Apakah perjuangan saya untuk membongkar korupsi dari dulu hingga sekarang sia-sia?'' ungkap Mochtar yang dituliskan dalam undangan perayaan ulang tahunnya. ''Tidak juga. Pemberantasan korupsi memang harus melibatkan banyak orang, banyak pihak. Saya hanya menyelesaikan apa yang menjadi bagian tugas saya.''

Kehidupan Mochtar, menurut Taufik Abdullah, menunjukkan pentingnya rasionalitas dan 'logical consistency'. ''Ia mengingatkan kita agar tidak terjebak dalam dilema yang tidak perlu.''

Kendati keras dalam pendirian, Mochtar yang enggan dipanggil ''kakek'' oleh cucunya itu, diakui para sahabatnya sebagai orang yang penuh kelembutan dan perhatian. '''He's a real gentleman'. Dia selalu siap untuk membantu orang yang dalam kesusahan,'' aku Toeti Heraty yang sempat bekerja dengan Mochtar di Yayasan Obor dan Lembaga Bantuan Hukum. ''Dia juga orang yang tahu benar bagaimana cara memperlakukan seorang perempuan. Itu tecermin dari caranya memperlakukan sang isteri, Hally.''

Bahkan aktivis perempuan Yenni Rosa Damayanti menjuluki Mochtar sebagai seorang ''feminist'' sejati. ''Ini terbukti dari kepeduliannya terhadap perempuan. Mochtar jugalah yang membuat buku saya bisa diterbitkan,'' ujar perempuan yang berjalan dengan bantuan tongkat ini.

Mochtar yang lahir tanggal 7 Maret 1922 di Padang, Sumatera Barat, ini tak hanya dikenal sebagi sastrawan dan budayawan. Ia juga terkenal sebagai wartawan senior. 'Horison' dan 'Indonesia Raya' adalah majalah yang diretasnya bersama sejumlah tokoh sastra Indonesia. Sutardji Calzoum Bachri, HB Jassin, Ati Ismail, Taufiq Ismail, Jamal D Rahman, Hamsad Rangkuti, Azwan Hamir, dan Ikranagara ialah beberapa rekan Mochtar di 'Horison', majalah yang terbit perdana 35 tahun lalu.

Kepedulian Mochtar dan rekan-rekannya di 'Horison' terhadap kemerosotan budaya baca, kemampuan menulis, dan apresiasi sastra bangsa Indonesia, ditunjukkan dengan menerbitkan sisipan 'Kakilangit' yang ditujukan untuk membantu pengajaran ketiga hal tersebut di SMU. Di samping itu, ketika kondisi fisiknya masih cukup tangguh, Mochtar juga turut berpartisipasi dalam melatih guru bahasa dan sastra SMU se-Indonesia.

''Sayang sekali Bang Mochtar secara fisik tidak dapat berpartisipasi aktif bersama kami bepergian ke daerah-daerah dalam tiga tahun terakhir ini,'' tutur Taufiq Ismail. Sastrawan yang satu angkatan dengan Mochtar ini berharap seluruh rangkaian kegiatan dan dedikasi Mochtar dalam jangka panjang membuahkan ''1.000 Bunga yang Molek-molek'' di dalam ''Taman Penghidupan Bangsa Kita'' -- sesuai dengan tulisan pengantar Mochtar dalam nomor perdana 'Horison' Juli 1966.

Catatan Budaya tentang Mochtar Lubis (Pikiran Rakyat)

Mochtar Lubis

KITA mengenal Pak Mochtar Lubis sebagai sosok yang serba bisa, berani dan kokoh dalam pendirian. Agak sulit menempatkan sosoknya dalam salah satu bidang saja. Ia adalah wartawan, sastrawan, pelukis dan juga penggemar banyak bidang lainnya: senang memelihara tanaman, melakukan kerja pertukangan, rajin olah raga terutama kung fu dan yoga, dan juga senang memasak. Majalah Trubus dalam salah satu penerbitannya pernah menyajikan resep pepes ikan mas kesukaan Pak Mochtar. Salah satu bumbunya adalah minyak jelantah bekas menggoreng ikan asin.

Kalangan sesepuh pers di negeri ini menjuluki Pak Mochtar sebagai granit. Julukan tersebut tidak berlebihan, karena memang sulit mencari tokoh pers lain yang memiliki keberanian seperti beliau. Koran yang dipimpinnya, Indonesia Raya selalu dianggap tidak bersahabat oleh dua rezim yang pernah mendominasi kekuasaan di Indonesia. Baik di masa Soekarno maupun di zaman Soeharto, Indonesia Raya pernah dilarang terbit. Bagi Pak Mochtar sendiri tampaknya Indonesia Raya itu mewakili semangat kemerdekaan bangsanya yang tidak boleh kendur.

Tidak mudah mengalahkan semangat yang terus menggelora di dalam jiwa Pak Mochtar. Ia selalu disiplin dalam keadaan apa pun. Kata Ajip Rosidi yang mengenalnya cukup lama, Pak Mochtar tetap bermain tenis secara rutin selama berada dalam tahanan. Catatan Subversi yang ia tulis di dalam kurungan menunjukkan betapa jiwanya tetap tegar dan bebas. Bagi Pak Mochtar istilah kompromi tampaknya bukan pilihannya, berbeda dengan tokoh-tokoh Indonesia sekarang yang memandang sikap tersebut sebagai pilhan yang sangat dimuliakan.

Selain di bidang jurnalistik, sumbangan Pak Mochtar di bidang sastra tidaklah kecil. Mungkin karena darah jurnalistiknya yang kental, karya-karya Pak Mochtar hampir selalu mewakili kondisi sosialnya sendiri. Jalan tak Ada Ujung, yang merupakan salah satu novel masa awalnya, hampir secara utuh mencoba merekam kondisi zaman saat itu, periode awal kemerdekaan Indonesia di mana muncul berbagai krisis sosial. Salah satu yang disorotinya secara tajam adalah bidang pendidikan. Bagi orang seperti Pak Mochtar, pendidikan adalah salah satu bidang paling penting yang akan menentukan masa depan sebuah bangsa. Jika pendidikan kacau, maka manusia serta masyarakat yang dihasilkannya pun akan demikian pula.

Pak Mochtar sangat beruntung karena di masa kecilnya ia menempuh pendidikan di sekolah yang baik, di mana selain memberikan pelajaran umum juga memberikan bekal keterampilan kepada siswa-siswanya. Selain itu ada pula pendidikan untuk mencintai lingkungan. Hal itu tampak dengan jelas dalam karyanya Berkelana dalam Rimba. Ceritanya sendiri dibuat sebagai cerita untuk anak-anak. Namun novel tersebut menunjukkan betapa penulisnya sangat mengetahui kekayaan yang terkandung di dalam rimba. Dengan penuturannya yang khas, pembaca diajak untuk mencintai alam, karena di sana tersimpan berbagai jenis ciptaan Tuhan yang sangat mengagumkan di samping juga memberikan manfaat yang tidak ternilai.

Dalam menulis novel Pak Mochtar tampaknya sangat diilhami (atau didorong?) oleh kondisi sosial di sekelilingnya. Hal seperti itu memang umum dilakukan oleh sastrawan sezamannya. Tokoh-tokoh yang diangkat oleh Achdiat K. Mihardja dalam Atheis sebagian mengambil model dari tokoh yang benar-benar dikenal oleh penulisnya dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga yang dilakukan Ramadhan KH dalam novel Ladang Perminus.

Senja di Jakarta sempat menarik perhatian yang cukup luas, karena novel Pak Mochtar tersebut lebih dulu terbit dalam edisi bahasa Inggris. Edisi Indonesianya menyusul kemudian. Hal itu disebabkan karena kondisi sosial politik dalam negeri yang tidak memungkinkan. Setelah peta politik berubah barulah novel tersebut bisa dibaca lebih luas oleh bangsanya sendiri.

Sebagai seorang intelektual yang rasional, Pak Mochtar sering menitipkan sikapnya tersebut dalam novel-novelnya. Tokoh-tokoh dalam beberapa novelnya sering memperhadapkan antara tokoh yang rasional dengan tokoh lain yang masih percaya pada hal-hal yang tidak rasional atau mistis. Sebagai kelahiran Sumatera Barat, Pak Mochtar memiliki keringanan dalam melakukan keberpihakan terhadap tokoh-tokohnya tersebut. Berbeda misalnya dengan para sastrawan yang berasal dari Jawa, di mana aroma mistik tidak bisa dienyahkan begitu saja.

Sikap dan jalan pikiran Pak Mochtar seperti itu tampak dengan jelas dalam bukunya yang tipis tapi menarik, Manusia Indonesia. Dalam risalahnya itu ia mencoba mengurai berbagai ciri manusia Indonesia. Tinjauannya sangat tajam, sehingga bagi sebagian orang karya Pak Mochtar itu dianggap berat sebelah, terlalu melihat yang negatifnya, sementara sisi positifnya hanya disinggung selintas-selintas saja. Namun pada awal terbitnya, buku tersebut sangat diminati oleh masyarakat. Sampai akhirnya Masagung sebagai penerbitnya menganggap penting untuk menerbitkan buku-buku sejenis lainnya, antara lain Manusia Sunda yang penulisannya dipercayakan kepada Ajip Rosidi.

Novel-novel dan karya-karya lain yang ditulis oleh Pak Mochtar sekarang sudah akan menjadi klasik. Adapun Pak Mochtar, yang sekarang sudah meninggalkan kita semua, tentu akan merasa bahagia jika karya-karyanya itu akan menjadi kajian terus-menerus. Memahami watak serta kepribadian manusia Indonesia, antara lain bisa memanfaatkan karya-karya sastra. Dan tokoh-tokoh yang diciptakan oleh Pak Mochtar dalam novel-novelnya adalah rekaman atau model dari manusia Indonesia pada masanya. (Abdullah Mustappa)***

In Memoriam Mochtar Lubis (Sinar Harapan)

Sinar Harapan, 3 Juli 2004


Biografi Tokoh-Tokoh

In Memoriam Mochtar Lubis: Mengapa Takut kalau untuk Kepentingan Bangsa?

JAKARTA - Saya sendiri heran mendengar orang berkata bahwa Mochtar Lubis itu pemberani… Ada pergulatan terus dalam diri saya kalau mau melawan terhadap orang-orang besar, terhadap orang-orang berkuasa, orang-orang yang bisa menangkap kita setiap saat.
Bukan tidak ada rasa takut. Saya bergulat terus dengan rasa takut saya itu. Tapi pertahanan saya adalah: kenapa kita harus takut kalau kita yakin bahwa yang akan kita kemukakan itu adalah benar, untuk kepentingan masyarakat, untuk kepentingan bangsa.

Demikian sepenggal ungkapan Mochtar Lubis yang direkam dalam buku Mochtar Lubis Wartawan Jihad. Mochtar Lubis (82) memang memegang teguh prinsip tentang kebenaran, sehingga ia sangat memperhatikan masalah kebebasan pers, serta kebebasan menyatakan pikiran dan pendapat.

Sosok yang jangkung untuk ukuran orang Indonesia, yakni 1,82 meter, Mochtar Lubis adalah Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi harian Indonesia Raya yang telah tujuh kali dibredel. Enam kali pada masa Orde Lama dan satu kali pada masa Orde Baru, tetapi fatal.

Selama masa Orde Lama, lima wartawannya ditahan dari beberapa hari sampai sebulan. Mochtar sendiri menjadi tahanan rumah dan lembaga pemasyarakatan (LP) hampir terus menerus selama sembilan tahun. Pada masa Orde Baru ia ditahan lagi selama 2,5 bulan.

Kini Mochtar Lubis tinggal kenangan. Ia telah meninggal di Rumah Sakit (RS) Medistra, Jakarta, Jumat (2/7), pukul 19.00, setelah dirawat selama seminggu.

Sakit flu menyebabkan pria kelahiran Padang, 7 Maret 1922 ini tidak bisa mengeluarkan dahak; ia sudah lama menderita asma.

Sabtu (3/7) hari ini pukul 10.00 jenazahnya disemayamkan di Taman Ismail Marzuki (TIM), dan dimakamkan di samping makam istrinya, Halimah, di Taman Pemakaman Umum (TPU) Jeruk Purut.

Sebelumnya, sejak 1994, budayawan, novelis dan wartawan senior ini menderita penyakit alzheimer. Selama dua tahun terakhir ini ia hampir tidak mengenal lagi orang-orang terdekatnya. Menurut kedua putranya, Iwan dan Arman Lubis, kesehatan Mochtar terus menurun sejak istrinya meninggal tahun 2001.

Gunawan Harmoko, wartawan Indonesia Raya yang ketika itu ikut membongkar kasus korupsi, mempunyai kesan tentang Mochtar Lubis. "Ia orang yang luar biasa, orang besar dalam dunia pers. Sampai sekarang di antara orang-orang pers yang sudah meninggal dan masih hidup, tidak ada yang lebih hebat daripada Mochtar Lubis," katanya.

Kebenaran, kebebasan, hak asasi manusia dan antiamplop. Itulah selalu pesan Mochtar kepada semua anak buahnya. Mochtar juga tidak rasialis, buktinya Indonesia Raya adalah koran satu-satunya yang tidak menyebut Cina tapi Tionghoa. "Tidak menyebut Republik Rakyat Cina (RRC) tapi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) karena memang namanya Tiongkok," kata Gunawan kepada SH.

Gunawan juga masih ingat ketika Mochtar meninjau Pulau Buru, tempat pembuangan orang-orang yang dituduh komunis. Mochtar mempertanyakan mengapa para tahanan itu tidak diberi peralatan yang sesuai dengan minat mereka tetapi malah diberi cangkul. Padahal Mochtar termasuk antikomunis.
Kesan juga masih melekat di benak Victor Sihite, wartawan senior Sinar Harapan yang tahun 1968 bekerja di Indonesia Raya karena kagum terhadap surat kabar yang mendapat julukan sebagai koran jihad terhadap korupsi, skandal dan kebobrokan di kalangan pejabat pemerintah itu.

Mochtar adalah seorang periang, blak-blakan dan terbuka. Jika tulisan wartawan jelek ia katakan jelek dan jika bagus tidak segan-segan memujinya. Bagi wartawan yang menerima amplop akan dipecat. Mochtar sendiri konon pernah didekati seorang utusan penguasa Orde Baru dalam rangka "menjinakkan".
Utusan itu mengatakan bahwa di Kalimantan masih ada ratusan ribu hektare hutan yang belum bertuan dan silakan digarap, akan disiapkan HPH-nya. Tapi Mochtar dengan halus menampiknya. "Anda sajalah yang menggarap karena Anda lebih ahli soal hutan. Keahlian saya cuma tulis-menulis," kata Mochtar.
Mochtar juga menampung seorang wartawan Yogyakarta yang saat itu mendapat teror dari penguasa karena getol mengorek skandal pemerkosaan terhadap seorang wanita pedagang telur oleh anak-anak pejabat di Yogyakarta. Peristiwa itu terkenal dengan kasus Sum Kuning.

Membongkar Korupsi
Prinsip tentang kebenaran telah mendorong Mochtar untuk melontarkan kritik-kritik tajam, termasuk mengritik korupsi di perusahaan minyak Indonesia. Sekitar tahun 1951, ketika karisma Bung Karno masih sangat kental, ia sudah melancarkan kritik terhadap politik Presiden pertama RI itu.

Selama setengah tahun terakhir pada 1956, tiga peristiwa penting terjadi pada Indonesia Raya, sebelum akhirnya dibredel. Indonesia Raya gencar memberitakan tentang rencana penahanan Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani sesaat sebelum berangkat ke London. Pada waktu itu Roeslan diduga terlibat korupsi bersama Lie Hok Thay. Penahanan Roeslan akhirnya gagal berkat intervensi Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo.

Setelah Indonesia Raya tidak lagi terbit, tahun 1961 Mochtar dipenjarakan di Madiun bersama mantan PM Sutan Sjahrir, Mohammad Roem, Anak Agung Gde Agung, Sultan Hamid, Soebadio Sastrosatomo dan lain-lain. Semuanya dinilai sebagai oposan Presiden Soekarno.

Tahun 1968 Indonesia Raya terbit kembali, kemudian Mochtar melancarkan investigasi mengenai korupsi di Pertamina yang dipimpin Letjen Dr. Ibnu Sutowo. Utang yang dibuat Ibnu Sutowo di luar negeri mencapai US$ 2,3 miliar. Ia diberhentikan oleh Presiden Soeharto.

Keluarga besar Indonesia Raya secara resmi "bubar jalan" tahun 1974 setelah koran itu diberangus menyusul peristiwa yang terkenal dengan sebutan Malari (Malapetaka Januari 1974). Ketika itu para mahasiswa mendemo PM Jepang Tanaka. Ketika itu Pasar Senen dibakar, disulut oleh anak buah Kepala Opsus Ali Moertopo. Maka Presiden Soeharto menginstruksikan membreidel sejumlah surat kabar antara lain Indonesia Raya, Pedoman dan Abadi.

Selanjutnya meski bukan sebagai wartawan lagi, Mochtar tetap gemar melakukan kritikan. Sembilan hari setelah Presiden Soeharto menyampaikan amanat di DPR pada 16 Agustus 1983, dia menulis keras dalam harian Kompas. Dia menyatakan bahwa apa yang tidak diucapkan oleh Soeharto jauh lebih penting dibanding dengan yang diucapkan, yakni persoalan korupsi yang sudah mengakar.

Mochtar juga banyak aktif di berbagai organisasi jurnalistik luar negeri, seperti Press Foundation of Asia. Di dalam negeri mendirikan majalah sastra Horison dan menjadi Direktur Yayasan Obor Indonesia yang menerbitkan buku-buku bermutu. Selain sebagai wartawan, Mochtar juga dikenal sebagai sastrawan. Pada mulanya menulis cerita pendek (cerpen) dengan menampilkan tokoh karikatural Si Djamal. Kemudian menulis novel seperti Harimau Harimau, Senja di Jakarta, Jalan Tak Ada Ujung, Berkelana dalam Rimba. Dia memperoleh Magsaysay Award untuk jurnalistik dan kesusastraan.
Selamat jalan, wartawan jihad!

SH/tutut herlina/victor sihite/wahyu dramastuti
Sumber: Sinar Harapan, 3 Juli 2004

Wawancara Mochtar Lubis (Republika)

Republika Online Jum'at, 8 Maret 1996

MOCHTAR LUBIS: PARA ULAMA PERLU BERPIKIR EKONOMIS


Kemarin (7/3), budayawan dan wartawan senior Muchtar Lubis genap
berusia 74 tahun. Peringatan hari ulang tahunnya ditandai dengan
peluncuran dan diskusi buku Mochtar Lubis Bicara Lurus: Menjawab
Pertanyaan Wartawan, suntingan Ramadhan KH, di kantor Yayasan Obor,
tempat Mochtar selama ini berkantor. Ia memang menjadi pendiri
sekaligus direktur lembaga Yayasan Obor, yang menerbitkan berbagai
buku tentang masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup itu.

Di usianya yang tergolong lanjut, mantan pemimpin redaksi harian
Indonesia Raya ini masih tampak prima. Suaranya tegas dan jelas.
"Resepnya, olahraga tenis, yoga, dan jalan kaki," kata Muchtar,
kelahiran Sungaipenuh, Kerinci, Sumatra Barat, 7 Maret 1922 ini.
Lelaki bertubuh tinggi jangkung (182 cm) dan kerap dijuluki si 'Kepala
Granit' -- karena teguh atas sesuatu yang diyakininya itu -- masih
tetap bersuara lantang atas berbagai persoalan bangsa ini, termasuk
kondisi umat Islam Indonesia.

Di rumahnya yang asri Jalan Bonang 17, Menteng, Jakarta Pusat, putra
Raja Pandapotan Lubis, kepala distrik Sungaipenuh, Kerinci, Sumatra
Barat ini menjawab berbagai pertanyaan H. Muarif, H. Alwi Shahab, dan
fotografer Ali Said dari Republika. Berikut petikan wawancara di
tengah hujan deras di pagi, Jumat (1/3), tersebut:

Hingga sekarang, Anda masih aktif menulis?
Saya masih terus menulis. Tidak pernah berhenti. Sekali-kali menulis
untuk surat kabar di luar negeri seperti, World Paper dan Asahi
Shimbun. Mereka meminta saya menulis tentang berbagai hal, mulai dari
masalah lingkungan hidup sampai politik. Kegiatan wartawan saya belum
berhenti. Yang berhenti cuma di Indonesia saja, he..he..he.

Kenapa tidak seperti Rosihan Anwar atau BM Diah yang masih bergairah
menulis di sini?
Saya masih kasihan kepada kondisi pers sekarang ini. Akibat
pembatasan, kebebasan pers yang berlaku di Indonesia ini tidak bisa
berkembang sebagaimana seharusnya. Banyak hal-hal yang perlu diketahui
masyarakat, informasinya tidak bisa disalurkan lewat pers Indonesia.

Dalam kondisi seperti itu, apa tidak sebaiknya ada kompromi?
Tidak mau. Kalau kita yakin itu benar dan sudah kita periksa kembali,
berita atau informasi yang perlu diketahui masyarakat adalah kewajiban
kita sebagai media massa untuk menyampaikannya kepada masyarakat.
Kalau tidak, buat apa jadi media massa. Jadi, kita ikut-ikutan
menyensor informasi yang seharusnya diketahui masyarakat.

Ada anggapan bahwa pers terkadang terlalu membesar-besarkan masalah.
Menurut Anda?
Tergantung. Bisa saja sebuah masalah kecil diangkat dengan cara
tertentu bisa menimbulkan kesan menjadi masalah besar dan gawat. Tapi,
kalau begitu persnya yang salah dong. Jadi, pers harus bekerja
berdasarkan kebenaran.

Dulu, kalau tidak salah Indonesia Raya yang Anda pimpin selalu
meneriakkan slogan jihad. Jihad kepada korupsi, kepada penyalahgunaan
kekuasaan. Apa istilah ini berdasar keyakinan agama Anda?
Memang ada unsur keyakinan saya kepada perintah agama Islam sendiri
bahwa kita harus melawan kepada yang batil. Bahwa yang batil itu harus
kita hindari, atau kalau itu menyangkut kepentingan banyak orang, yang
batil demikian harus kita lawan. Agama kita pun memerintahkan, kalau
kita kebetulan wartawan, membela yang benar dan melawan yang batil.

Meski Anda sempat ditahan beberapa kali?
Itu resiko kita. Kalau surat kabar mau berfungsi sebagai alat
informasi masyarakat yang positif, kita tidak bisa menutup mata kepada
hal-hal negatif yang terjadi dalam masyarakat kita. Kalau kita lihat
ada pelanggaran-pelanggaran hukum, ada pelanggaran kepentingan umum,
tapi kita tutup mata karena kita ingin memelihara hubungan dengan
penguasa, ya kita salah dong. Kita tidak memenuhi tugas dan tanggung
jawab kita sebagai pers terhadap masyarakatnya.

Jadi untuk itu kita harus jihad terus?
Jangan alang kepalang. Kalau kita sudah mengambil sikap, jangan
mendua. Kalau surat kabar kita berjuang untuk kepentingan umum, itu
harus kita lakukan. Jadi, penuh keyakinan tapi jangan serampangan.
Jangan hanya mendengar berita-berita atau bisikan burung saja kemudian
kita melakukan pemberitaan di surat kabar. Jadi harus ada check and
recheck.

Pengalaman menarik dalam Anda "berjihad" itu apa?
Setelah kita melakukan kampanye anti korupsi seperti yang terjadi
dengan kasus Pertamina, ternyata banyak pihak yang membantu kita.
Bahkan, dari birokrasi pemerintah sendiri membawa segudang informasi
kepada kita, baik memberi petunjuk kepada informasi yang perlu kita
telusuri atau memberi informasi yang mereka miliki. Jadi, dalam
birokrasi pemerintahan kita jangan dianggap manusia-manusianya sudah
busuk. Tidak, masih banyak orang-orang yang menderita tapi karena dia
pegawai negeri tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi kalau ada kesempatan
dia bantu kita, karena yakin kita melakukan bukan untuk sensasi
belaka, tetapi secara murni. Kalau takut, mereka kirim surat yang
isinya memberi petunjuk informasi baru. Atau kalau tidak, mereka kirim
dokumen-dokumen yang kita perlukan. Kita kalau tidak ditolong
demikian, tidak akan bisa tegas dan kuat pembuktiannya.

Anda melihat pers sekarang masih menyuarakan anti korupsi?
Ada satu, dua. Tapi, kurang menggigit. Terutama pembuktiannya. Ada
yang terhenti di tengah jalan, sudah dimulai tapi tiba-tiba hilang
begitu saja.

Anda dulu dikenal pernah berkonflik dengan Bung Karno?
Ya, karena saya merasa orang seperti Sukarno yang sudah berjuang
membentuk kemerdekaan bangsa Indonesia sejak masa kolonial hingga
menjadi presiden, harus memberi contoh yang baik. Dan saya tidak
senang dengan apa yang dilakukannya dengan cewek-cewek. Beri contoh
yang benar dong kepada masyarakat kita.

Anda tidak mendendam kepada pihak yang memenjarakan Anda?
Tidak ada. Termasuk kepada birokrasi sekarang ini. Dengan beberapa
tokoh-tokoh pemerintah sekarang ini kalau ketemu saya baik-baik saja.

Anda merasa dibatasi?
Pembatasan yang paling saya rasakan adalah ditutupnya Indonesia Raya.
Ha..ha..ha. Saya ingin punya koran, tapi tidak boleh.

Tapi, kenapa Anda tidak menyalurkannya kepada surat kabar lain?
Tidak, saya kasihan nanti. Korannya yang ditutup atau mereka yang
tidak mau.

Rosihan Anwar saja masih mau nulis?
Nulisnya kan yang enteng-enteng, he...he. Saya lain dari dia, saya
ingin langsung ke jantung persoalan bangsa kita yang penting-penting.
Saya mau kritik, kalau memang perlu dikritik. Tapi, kalau yang
enteng-enteng, biarlah Pak Rosihan yang menulisnya.

Lalu bagaimana dengan tulisan Anda di media luar?
Saya tulis tentang Indonesia juga. Saya kritik juga. Saya menulis
seperti yang saya yakini. Tak ada tuang-tuangan air tawar ke dalamnya.
Tidak mau saya. Lebih baik saya tidak menulis daripada saya tidak
berani menyatakan keyakinan saya. Sejak Indonesia merdeka, saya
menganggap diri saya manusia merdeka kok. Merdeka berpikir, merdeka
menyatakan pikiran. Kalau tidak begitu kita masih terjajah dong. Jadi
manusia terjajah di negeri Indonesia merdeka, malu sendiri dong kepada
diri kita. Harus berani berfungsi sebagai manusia merdeka.

Ketika masa Orla, banyak kebijakan politik Bung Karno yang Anda
tentang. Kenapa?
Karena Bung Karno itu salah lihat, salah langkah. Itu menurut
keyakinan saya. Waktu dia mencetuskan gagasan Nasakom, nasionalisme,
agama dan komunisme jadi satu, itu kan gagasan yang tidak masuk akal.
Nasionalisme dan komunisme itu kan saling bertentangan secara
mendasar, apalagi agama. Orang komunis tidak bertuhan, orang beragama
Tuhan harus kita sembah karena Dia kekuasaan yang paling besar dalam
alam semesta ini. Itu saja sudah jadi konsep politik yang tidak masuk
akal. Itu membawa bangsa kita ke jalan yang sesat, karenanya saya
kritik terus. Dan saya merasa harus melakukan kritik tersebut supaya
kita tidak tersesat jalan. Ternyata benar, dengan terjadinya Gestapu.
Indonesia Raya benar, bahwa Nasakom tidak membawa sesuatu yang
positif bagi bangsa Indonesia, bahkan membawa kecelakaan, bencana
nasional yang sangat hebat. Berapa juta orang yang diperkirakan dunia
internasional mati terbunuh.

Anda yakin bahwa komunisme masih jadi bahaya laten?
Saya rasa jauh berkurang. Tapi, kita tetap harus waspada. Oleh karena
itu, banyak kritik saya terhadap perkembangan Indonesia sekarang.
Karena dengan adanya pembangunan ekonomi yang besar-besaran ini,
masuknya modal asing dan munculnya kapitalis-kapitalis dalam negeri
sendiri, itu menyebabkan perbedaan kedudukan ekonomi antara lapisan
bawah masyarakat kita dengan lapisan atas yang kecil jumlahnya itu
demikian menyolok. Jadi, orang kaya di Indonesia itu luar biasa, yang
miskin luar biasa juga. Kesenjangan yang demikian itu, sebenarnya
sangat berbahaya bagi sebuah masyarakat. Tidak hanya bagi masyarakat
Indonesia, tapi juga kepada masyarakat di mana pun juga. Kalau sudah
demikian, akan timbul ketegangan-ketegangan sosial dan politik.

Jadi, tidak perlu jadi orang komunis dulu, apalagi mereka yang ada di
lapisan bawah untuk merasakan adanya ketidakadilan dalam masalah ini.
Kenapa sekelompok kecil dengan mudah menjadi orang kaya yang
berfoya-foya, sementara masih banyak sekelompok besar masyarakat
berhari-hari sulit mencari makan, itu tidak perlu ada komunis. Dengan
sendirinya orang-orang yang diperlakukan tidak adil secara sosial,
ekonomi dan politik akan merasa kesal dan lama-lama menjadi marah.

Peran agama dalam menangkal komunisme?
Tidak cukup dengan agama. Orang beragama kan perlu makan. Ingin
kehidupan yang layak, tinggal dalam rumah yang cukup layak, bisa
mengirim anak-anaknya ke sekolah. Jadi, itu semua bisa jadi perhatian
pembuat kebijakan-kebijakan di bidang politik dan ekonomi di negeri
kita. Tidak bisa dibiarkan terus menerus suatu perbedaan tajam dalam
masyarakat.

Berkaitan dengan potensi ekonomi umat, apa pendapat Anda tentang
anggapan masih rendahnya etos kerja mereka?
Saya rasa orang Indonesia kalau dia yakin hasil keringatnya itu
memadai, jatuh juga ke dirinya, tidak hanya disedot oleh orang lain
yang mempekerjakan dia, itu bisa kerja keras. Tapi, kalau dia merasa
hasil kerja kerasnya diperas oleh mereka yang punya modal, akhirnya
ogah-ogahan dong. Dia tidak mengeluarkan seluruh kemampuan dirinya
untuk menyelesaikan tugas-tugasnya tersebut. Saya rasa itu sangat
manusiawi sekali kalau hasil tugas kita dinikmati orang lain, ya kita
malas-malasan saja. Dan itu masih berlangsung di masyarakat kita.

Selama ini, orang-orang kaya kan juga sudah membantu masyarakat,
misalnya melalui pajak?
Baru 20-30 persen untuk mereka yang punya aset trilyun atau miliaran
rupiah. Kenapa tidak 40-60 persen, toh mereka dapat uang dari
masyarakat, dari orang-orang miskin juga.

Selain pajak, mereka kan juga mengeluarkan sumbangan?
Itu saya rasa hanya sekali-kali saja seperti waktu Idul Fitri. Tapi
habis itu menderita lagi mereka selama hampir setahun penuh.

Seharusnya?
Seharusnya diinvestasikan kepada proses-proses yang bisa meningkatkan
taraf hidup lapisan masyarakat kita yang berkekurangan. Sebab manusia
itu kan punya rasa hormat diri. Jadi, masalah harga diri manusia
Indonesia lapisan bawah itu harus ditimbulkan sehingga mereka punya
harga diri dan punya kemauan yang lebih keras untuk memperbaiki
hidupnya. Tapi kalau hidup dari belas kasihan, itu jelas tidak baik.

Jadi, menurut saya, harus ada program khusus untuk memperbaiki taraf
hidup mereka. Lapangan kerja buat mereka harus dikembangkan. Dan kalau
tidak punya kemampuan kerja apa-apa, harus ada upaya pelatihan. Kita
tidak boleh mengatasi masalah kemiskinan dengan cara seorang penderma,
tidak akan habis-habisnya kemiskinan. Kita lawan kemiskinan dengan
menghapuskan kemiskinan, membuka kesempatan kepada mereka untuk
mengembangkan taraf hidupnya.

Bagi umat Islam, bekerja itu kan ibadah. Bagaimana, menurut Anda, agar
dakwah juga memacu etos kerja?
Saya melihat dakwah masih kurang memperhatikan segi-segi masyarakat
kecil. Saya rasa ulama-ulama Indonesia perlu berpikir ekonomis karena
pembangunan bangsa ini tidak hanya di bidang keagamaan atau
nilai-nilai moral saja. Tapi, juga ekonomi. Saya rasa semuanya itu
perlu diangkat ke atas agar kesenjangan antara yang kaya dan yang
miskin dapat dikurangi.

Menurut Anda, konsep hidup yang baik dan sejahtera itu seperti apa?
Hidup yang baik itu paling tidak memiliki tiga segi. Pertama, dia
bebas lapar dari hari ke hari. Sanggup memberi makan diri dan
keluarganya dengan makanan bergizi. Bergizi, sebab kalau tidak daya
pikir dan fisiknya lemah. Kemudian, dia harus bisa menambah
pengetahuannya. Lalu, dia harus jadi manusia yang bebas berpikir, yang
mengerti hak-haknya sebagai warga negara. Manusia merdeka itu ya
seperti itu. Kalau tidak begitu, ia tidak bisa mengungkapkan
kemerdekaannya sebagai manusia secara penuh untuk memajukan dirinya,
keluarganya, masyarakat, dan bangsanya.

Jadi, persyaratan untuk mengembangkan diri itu harus terpenuhi. Orang
itu tidak bisa dibatasi kebebasannya. Sebab kalau dia dibatasi, itu
sudah jadi kendala buat golongan lain yang bisa menggunakan
kebebasannya lebih baik. Jadi, baik si miskin ataupun si kaya itu
harus bisa menikmati kebebasannya dalam tataran yang sama.

Lalu, peran agama di mana?
Peran agama, bagi saya, itu harus berpusat di diri manusia
masing-masing. Agama itu tidak bisa dipaksakan. Ia harus datang dari
keyakinan diri kita. Barangkali yang menjadi masalah di sini, banyak
penganut agama yang kurang memahami nilai agama itu sendiri. Entah itu
karena tidak diajarkan di sekolah atau tidak mendapat penjelasan dari
ceramah-ceramah agama. Tapi saya tidak terlalu khawatir, karena agama
di Indonesia ini sudah ada ratusan tahun, sehingga sudah berakar dalam
diri rakyat Indonesia.

Tapi kenapa dekadensi moral semakin merajalela?
Itu selalu ada. Di samping nilai-nilai agama yang menyerap dalam diri,
ada juga pengaruh-pengaruh yang buruk dari luar. Apalagi setelah
globalisasi, pengaruh negatif itu semakin besar, dorongan untuk
memiliki harta lebih besar, melakukan hal-hal yang ditonton di film
atau televisi, meniru perilaku masyarakat Barat. Ada orang yang
matanya silau dan kepengin meniru seperti masuknya esctasy, cara-cara
berpakaian hingga perilaku buruk lainnya.

Masalahnya, generasi muda yang jadi korban paling banyak?
Betul. Tinggal keluarga yang jadi bentengnya. Mulai dari rumah hingga
lingkungan sekolah harus ada penerangan dan penjelasan tentang mana
yang baik dan tidak baik. Dan ini saya rasa jadi masalah yang cukup
besar seiring dengan semakin meningkatnya kemakmuran di Indonesia.
Semakin banyak uang yang mereka peroleh, dorongan ke arah konsumerisme
semakin bertambah kuat. Ini perjuangan yang cukup sulit dilakukan.

Satu-satunya jalan adalah membentengi diri sejak masih kecil. Orangtua
mendidik anaknya dengan nilai-nilai baik. Ini juga harus jadi
perhatian para ulama juga. Selain itu, pesantren-pesantren perlu lebih
mengembangkan pendidikan praktis perekonomiannya agar selepas dari
pesantren mereka bisa terapkan di masyarakat. Dengan demikian,
pesantren tidak hanya menjadi wadah pendidikan agama, tapi juga wadah
pendidikan ekonomi umat. Itu akan bagus sekali.

Anda sendiri belajar agama dari mana?
Waktu kecil setelah pulang sekolah dari HIS, setiap sore saya harus
pergi mengaji ke masjid bersama saudara-saudara yang lain. Kami diajar
bahasa Arab, mengaji Alquran, tafsir Alquran. Di Sungaipenuh, Kerinci,
Sumatra Barat, ayah saya menjadi kepala distrik di sana. Yang
menggantikan ayah setelah pensiun adalah ayahnya Rosihan Anwar.

Ketika di penjara, kabarnya Anda banyak belajar agama dari tokoh-tokoh
Masyumi?
Ya, saya kenal dengan Pak Natsir, Pak Prawoto, dan Pak Isa Anshari.
Mereka jadi teman-teman semua. Saya bahkan sering berdebat dengan
mereka terutama Kyai Isa Anshari. Saya senang dengan pemikirannya.

Kesan Anda terhadap mereka?
Mereka banyak membaca tidak hanya buku-buku Islam tapi juga filsafat
dari Barat sehingga wawasan mereka luas. Pak Natsir itu menguasai
filsafat Barat. Mereka ulama (menguasai ilmu agama), tapi juga
menguasai pemikiran-pemikiran dari Barat. Sekarang ini sulit mencari
orang-orang seperti mereka. Padahal umat membutuhkan orang-orang
seperti itu.

Kan ada yang muda-muda seperti Nurcholish Madjid?
Tapi Nurcholish kan jadi tokoh kontroversial. Sayang itu. Dulu sering
ketemu dengan saya dan saya sangat menghargai kebebasan berpikirnya.
Tapi kan akhirnya ditentang oleh umat Islam sendiri. Sekarang ini,
belum muncul tokoh sentral umat Islam.

Tapi kehidupan beragama kan semakin maju?
Maju dalam soal apa. Dalam soal kesadaran mungkin, tapi kan tidak
hanya maju dalam kesadaran. Umat Islam harus maju dalam kehidupan
sehari-hari, kehidupan ekonomi, ilmu pengetahuannya dan politiknya.
Itu semua harus ditingkatkan. Dengan jumlah penganut yang paling
pesar, partisipasi politik umat Islam seharusnya juga paling besar.
Kalau kondisi umat yang masih belum baik, itu tugas pemimpin-pemimpin
umat yang harus bekerja keras.

Ada obsesi Anda pribadi yang belum tercapai?
Tidak ada. Saya cukup bahagia dengan apa yang sudah ada pada saya.
Saya tidak ingin macam-macam yang hebat-hebat dan mewah-mewah. 

Wawancara Mochtar Lubis dengan Media Alam Sumatera (WWF)

Mochtar Lubis:


"Wajah Indonesia Sudah Bopeng-bopeng"

Mochtar Lubis merupakan tokoh yang "gentayangan" di mana-mana. Selain sastrawan, budayawan dan juga wartawan, pria kelahiran Padang 79 tahun yang lalu itu, juga dikenal sebagai tokoh LSM: memimpin Yayasan Obor Indonesia, yang menerbitkan buku-buku tentang hutan dan lingkungan hidup, dan anggota dewan penyantun Yayasan LBH Indonesia (mundur tahun 1996). Sebagai sastrawan, ia kerap mendapat penghargaan. Novelnya "Harimau, Harimau" mendapat hadiah sastra dari Yayasan Buku Utama, disamping penghargaan yang diterima untuk karyanya yang lain –di antaranya Piagam Maqsaysay dari Filipina tahun 1958 dan dikembalikan tahun 1995, sebagai protes atas terpilihnya sastrawan Pramudya Ananta Toer sebagai penerima penghargaan serupa.

Melalui "Harimau,Harimau", ia mengungkap berbagai sisi gelap atau kelemahan dasar bagi manusia: berhubungan dengan nafsu, yang pantang diakui dan disembunyikan di bawah permukaan kehidupan sosial.

Juga tentang bagaimana kemungkinan manusia bisa mengatasi kelemahan-kelemahannya. Sebagai "alat" untuk memperlihatkan ini, Mochtar Lubis memanfaatkan alam Sumatera sebagai arena dan satwa harimau serta mitos dewa harimau sebagai alat pembongkar kebenaran. Untuk mengetahui lebih jauh pikiran-pikirannya soal harimau, dalam kaitan dengan hutan yang menjadi setting novelnya, redaksi AS&P mewawancarai Mochtar Lubis di kediamannya, awal bulan ini. Petikannya:

Dari mana Anda mendapat inspirasi untuk menjadikan harimau sebagai salah satu tokoh dalam novel itu?
Inspirasi itu saya dapatkan ketika masih sekolah di Sekolah Ekonomi di Kayu Tanam, Sumatera Barat. Kami diajak mengenal tumbuh-tumbuhan dan hewan yang ada di dalam hutan. Kami masuk dan menginap hingga empat sampai lima malam. Tidak ada tenda atau peralatan lain, seperti kemah anak-anak muda sekarang. Kami harus belajar hidup dalam hutan. Kami dididik, dilatih supaya tidak takut masuk hutan yang kaya dengan keindahan. Waktu pertama kali memang kesal juga. Tapi setelah masuk beberapa kali, kami menjadi tertarik dan selalu minta ada kegiatan masuk hutan lagi.

Anda sempat bertemu harimau?
Kebetulan kami tidak bertemu. Waktu itu kami semua sangat takut dengan harimau. Jadi kalau sempat ketemu, saya ngeri juga. Sebab di Minangkabau, harimau tabu dibicarakan.

Di Minangkabau, harimau juga disebut cindaku: harimau jadi-jadian yang suka mengganggu manusia
Ha, ha, ha.... Waktu kecil saya memang sering ditakut-takuti dengan cindaku. Tapi saya tidak tahu mengapa ada istilah cindaku untuk harimau pengganggu itu.

Dalam novel Anda, harimau disimbolkan sebagai satwa pengganggu manusia. Bagaimana ceritanya?
Sebagai salah satu penghuni hutan, harimau bagaikana raja rimba raya. Tapi bukan simbolisasi jahat yang saya tonjolkan terhadap harimau. Hewan ini juga bukan simbol kesatriaan. Ini sebetulnya tergantung dari tindak-tanduk dan tingkah laku manusia. Jika habitatnya diganggu, ia marah dan menerkam manusia.

Rasa takut terhadap harimau dan dewanya, mencerminkan bahaya nyata jika manusia hidup bertetangga dengannya. Ini dilema bagi konservasionis?


Saya pikir, perlu ada penyadaran pada masyarakat bahwa satwa yang ada dalam hutan perlu diselamatkan dari kepunahan. Sebab kebanggaan kita tinggal lagi pada harimau. Bagaimana caranya, kita bersama-sama mempertahankan habitatnya, yakni hutan yang masih tersisa.

Kelompok anti konservasi sering mengkritik, mengapa harimau, badak, gajah dan mamalia lainnya dibela mati-matian, padahal mereka mengganggu kehidupan manusia?Kembali pada penyadaran tadi. Ajak mereka untuk tidak bersikap dan bertindak yang bertujuan memusnahkan kehidupan makhluk hidup selain manusia. Kita harus menghormati kehidupan harimau, monyet, beruang dan lain-lain. Kehidupan satwa itu punya arti bagi kehidupan manusia. Kalau manusia sudah tidak menghargai makhluk lain, berarti ia sudah merusak kehidupannya sendiri.

Konsekuensi dari kepunahan sejumlah satwa yang dilindungi (karena diburu dan diperdagangkan), Indonesia dikecam karena melanggar konvensi perdagangan satwa (CITES). Apa akibatnya bagi Indonesia?
Bukan hanya dikecam, tapi juga dikucilkan. Sebab kita sudah sepakat untuk melindungi dengan menandatangani konvensi itu. Nama baik kita makin rusak di dunia internasional. Mereka pasti melakukan boikot.

Perdagangan satwa dikecam, perdagangan kayu dikritik, seperti apa wajah negeri ini di luar negeri?
Bopeng-bopeng, ha,ha,ha.... Ya, ‘kan. Wajah Indonesia sudah bopeng-bopeng di luar negeri, karena kita seenaknya melanggar perjanjian yang sudah disepakati . Mengapa kita memburu harimau, gajah, badak, beruang, monyet dan lain-lain itu? Mengapa orang leluasa menangkap burung lalu memenjarakan dalam sangkar? Bagaimana kalau kita yang justru dikandangkan dalam kerangkeng. Mau nggak kita?

Cerita soal penjara, Mochtar Lubis memang sudah kenyang mengalami. Di era Soerkarno berkuasa, ia sempat dikurung (1957-1966) gara-gara kritis terhadap kebijakan pemerintah. Begitupun di era Soeharto, ia sempat meringkuk 2,5 bulan. Kedua-duanya tanpa proses pengadilan. Karena itu ia juga tidak setuju jika hewan ikut di penjara. "Saya tidak setuju dengan konsep kebun binatang, yang mencampakkan berbagai jenis hewan habitatnya. Konsep itu tidak benar," kata Mochtar Lubis dengan nada bicara agak meninggi.

Mengapa keberatan dengan konsep kebun binatang?
Karena satwa-satwa itu dikurung. Terus terang, dalam kurungan tidak ada kebebasan. Hewan seperti burung tidak bebas mengepakkan sayapnya. Harimau, monyet, orangutan dan sebagainya, tidak leluasa menikmati hidup. Untuk apa mereka hidup jika sudah tidak ada kebebasan. Coba kalau dibalik, Anda dimasukkan ke dalam kerangkeng dan ditonton oleh hewan-hewan.

Mungkin, dengan kebun binatang, satwa yang langka bisa diselamatkan. Bisa juga anak-anak bisa dikenalkan sejak dini tentang makhluk lain selain manusia?
Bukan begitu caranya. Bukan dengan membuatkan penjara. Kalau untuk bahan pelajaran, bisa melalui gambar atau foto-foto. Ini lebih manusiawi daripada ditangkap lalu dipertontonkan. Keberadaan kebun binatang tidak mendidik anak-anak menghargai kehidupan yang sebenarnya.

Dari mana awal penolakan kebun binatang ini?
Para pecinta binatang sudah lama menolak kebun binatang yang tidak membiarkan satwa itu hidup bebas.

Kenyataannya, para penyayang binatang lebih banyak memelihara piaraannya dalam kandang yang disiapkan?
Menyayangi tidak harus mengandangkan. Kalau ingin mengoleksi, siapkan habitatnya. Biarkan satwa itu menikmati hidupnya di alam bebas. Habitatnya bukan sebatas dan seluas kandang yang disiapkan.

Berarti seperti yang dikembangkan di taman safari?
Saya rasa harus seperti itu. Luasan areal yang menjadi habitat satwa-satwa itu mencukupi dan tidak dikandangkan. Mereka bebas bermain di alam . Kalau kita ingin menikmati, bukan dengan memenjarakannya.

Mochtar Lubis memang seorang tokoh yang konsisten dengan sikapnya. Ia punya pengalaman luas dan kapasitas intelektual yang tinggi, visioner, tapi rendah hati. Komitmen kebangsaannya tidak perlu diragukan. Upaya memperjuangkan demokrasi tidak pernah berhenti ia lakukan. Kebebasan berbicara dan berpendapat, melalui kebebasan pers, adalah sesuatu yang mutlak. Ia rela suratkabar Indonesia Raya —yang dipimpinnya— diberangus, daripada memilih jalan kompromi. "Sejak kecil kami sekeluarga diajari untuk berbicara jujur. Kalau ketahuan berbohong, mulut kami dilumuri cabe," tutur Mochtar tentang sikap hidupnya yang sudah terbentuk sejak dini. Sekolah di Kayu Tanam merupakan masa-masa indah yang dinikmatinya, karena sudah mengenal alam sebagai salah satu karunia Tuhan, sejak dini.

Masa kecil Anda bisa membuat iri generasi sekarang, yang tidak menikmati lagi kekayaan alam Indonesia?
Ha, ha, ha (Mochtar tercenung sebentar)... Memang, proses kerusakan hutan terjadi begitu cepat dan pemerintah ternyata tidak mampu menahan dan mengantisipasi. Saya tidak tahu mengapa kerusakan itu dibiarkan.

Kan sudah ada peraturan yang melindungi?
Pengusaha yang mendapat izin konsesi, tidak ada yang peduli. Dengan mendapat konsesi mereka seolah-olah boleh menebang kayu seenaknya. Sekarang harus direm, kalau kita tidak mau kehilangan semua. Itu pun tergantung masyarakat. Kalau desakan untuk mempertahankan hutan cukup kuat, masih ada harapan untuk menahannya.

Sebetulnya di mana letak persoalannya?
Itu ada dalam diri kita masing-masing. Mungkin sebagian dari kita belum menyadari apa artinya hutan rimba kalau sudah hancur. Padahal kalau hutan hancur, maka sumber air dan sumber kehidupan manusia juga ikut hancur.

Kesalahan itu, konon, berasal dari pemerintah, yang terlalu mengandalkan pertumbuhan Kayu menjadi primadona sehingga dieksploitasi besar-besaran?

Faktor ini punya peran . Tapi pengertian pemeliharaan hutan dan sumber-sumber air di masa datang adalah satu hal yang sangat penting. Sudahkah kita menyadari akan hal itu?

Kerusakan hutan tidak hanya berakibat pada sumber kehidupan manusia, tapi juga kelangsungan hidup satwa? Iya. Ini harus ada pengawasan yang ketat dari pemerintah. Sebab persoalannya bukan saja karena habitatnya terganggu. Juga karena orang leluasa memburu satwa itu dengan berbagai cara. Adakah kemauan kita semua, termasuk pemerintah, menyelamatkannya dari kepunahan?

Pendekatan law enforcement tidak cukup. Apalagi yang bisa menghentikan itu semua?
Harus ada penyadaran melalui penanaman nilai-nilai. Kita akui, pelestarian sumberdaya alam dan kehidupan yang ada di dalamnya perlu diselamatkan. Kita sebetulnya kaya dengan keragaman hayati dan plasma nutfah. Ini adalah aset yang perlu diselamatkan.

Cukup besar ya, kerugiannya?
Ya, betul. Kita harus bisa memelihara dan melestarikan. Serahkan kepada pemerintah. Kita ini ‘kan hanya sekadar megingatkan. Pemerintah yang harus mengawasi sehingga kelestarian alam dan hutan berlangsung terus menerus. Pemerintah harus aktif turun ke lapangan, mengawasi sumberdaya yang ada di dalamnya.

Caranya?
Kita bisa meyakinkan pemerintah agar menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan rakyat, menyelamatkan satwa, hutan rimba yang sangat penting artinya bagi anak cucu kita. Kalau hutan rimba sudah seperti padang pasir, pasti anak cucu kita akan menyesali nenek moyang mereka yang membiarkan begitu saja kehancuran itu.

Anda sangat berharap tapi pemerintah kurang peduli? Kalau faktanya sudah hancur dan pemerintah belum bertindak, ini merupakan gejala menarik. Tapi, jangan menyerah. Lakukan investigasi dan lengkapi dengan fakta-fakta yang terjadi, lalu laporkan pada pemerintah. Apa dengan laporan lengkap itu pemerintah belum tergugah? (Mochtar berhenti sejenak)... Memang pemerintah belum memberi perhatian serius terhadap kehancuran yang terjadi.

Perhatian seperti apa yang akan diharapkan lagi, setelah kehancuran terjadi di mana-mana?
Sewaktu mengeluarkan izin konsesi kepada pengusaha, mestinya ada peraturan yang mengharuskan mereka bertanggung-jawab terhadap kawasan yang dikelola serta kawasan hutan yang ada di sekitar areal konsesi. Jika izin konsesi habis, lahan yang ditinggal tetap jadi hutan. Kayu-kayu yang semula ditebangi sudah mulai tumbuh. Kalau tidak, tuntut mereka, sesuai kesepakatan. Kalau dibiarkan, kawasan itu hanya akan jadi padang pasir.

Peraturannya sudah seperti itu. Tapi faktanya, pengusaha meninggalkan bengkalai hutan yang sudah rusak?
Kalau begitu faktanya, pers harus lakukan investigasi. Sajikan dengan akurat akal-akalan para pengusaha, biar diketahui pemerintah. Kalau masih tidak peduli, kasihan juga ya, pemerintahan kita sekarang. Tapi bukan berarti kita menyerah dan mendiamkannya. Kita perlu memberikan informasi yang lengkapnya dan seakurat mungkin. Sayang hanya sedikit media yang menyoroti masalah kerusakan hutan dan sumberdayanya.

Apa karena kalah bersaing dengan isu politik dan ekonomi yang menghangat belakangan ini?
Kalau tulisannya disajikan secara lengkap dan mudah dipahami, orang akan membacanya. Ia bisa menjadi berita menarik, sepanjang wartawannya menguasai persoalan. Banyak rakyat kita yang sadar dan menginginkan kawasan hutan beserta sumberdayanya tidak hancur dan yang tersisa dipertahankan. Orang-orang di kota membutuhkan kawasan yang kaya flora dan fauna.

Mungkin perlu kiat khusus untuk menyajikan sehingga tulisannya diminati?
Tidak begitu sulit asal sungguh-sungguh. Sebelum melakukan investigasi, Anda perlu pelajari dan pahami akar masalahnya lebih dulu. Bicara dengan ahli-ahlinya. Dengan bahan dan pengetahuan yang ada baru lakukan investigasi, sehingga persoalan yang akan ditelusuri begitu mudah terlihat. Ketika sudah menyaksikan langsung fakta kerusakan, penyajian dalam bentuk tulisan akan lebih mudah dan orang makin memahami akan risiko kerusakan yang sudah terjadi.

Soal menyajikan fakta ke dalam berita, Mochtar Lubis memang jagonya. Melalui Indonesia Raya, ia melakukan investigasi tentang kasus korupsi di Pertamina. Data-data yang diperolehnya berkarung-karung, tanpa sempat diungkap karena tekanan politik waktu itu. Dan juga, Indonesia Raya keburu diberangus tahun 1974. Tapi ia tidak pernah patah arang. Semuanya, ia yakini sebagai "harga" untuk menegakkan demokrasi. Kini di usianya yang hampir kepala delapan, Mochtar bangga menyaksikan kehadiran ratusan media cetak yang beredar di masyarakat. Hanya, "Tidak banyak yang mampu mengungkapkan fakta dengan lengkap, jujur dan memihak rakyat kecil," ungkapnya dengan nada sedikit kecewa, mengakhiri perbincangan yang cukup akrab di rumahnya yang asri, Jalan Bonang, Jakarta Pusat. (ET)