Wawancara Mochtar Lubis (Republika)

Republika Online Jum'at, 8 Maret 1996

MOCHTAR LUBIS: PARA ULAMA PERLU BERPIKIR EKONOMIS


Kemarin (7/3), budayawan dan wartawan senior Muchtar Lubis genap
berusia 74 tahun. Peringatan hari ulang tahunnya ditandai dengan
peluncuran dan diskusi buku Mochtar Lubis Bicara Lurus: Menjawab
Pertanyaan Wartawan, suntingan Ramadhan KH, di kantor Yayasan Obor,
tempat Mochtar selama ini berkantor. Ia memang menjadi pendiri
sekaligus direktur lembaga Yayasan Obor, yang menerbitkan berbagai
buku tentang masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup itu.

Di usianya yang tergolong lanjut, mantan pemimpin redaksi harian
Indonesia Raya ini masih tampak prima. Suaranya tegas dan jelas.
"Resepnya, olahraga tenis, yoga, dan jalan kaki," kata Muchtar,
kelahiran Sungaipenuh, Kerinci, Sumatra Barat, 7 Maret 1922 ini.
Lelaki bertubuh tinggi jangkung (182 cm) dan kerap dijuluki si 'Kepala
Granit' -- karena teguh atas sesuatu yang diyakininya itu -- masih
tetap bersuara lantang atas berbagai persoalan bangsa ini, termasuk
kondisi umat Islam Indonesia.

Di rumahnya yang asri Jalan Bonang 17, Menteng, Jakarta Pusat, putra
Raja Pandapotan Lubis, kepala distrik Sungaipenuh, Kerinci, Sumatra
Barat ini menjawab berbagai pertanyaan H. Muarif, H. Alwi Shahab, dan
fotografer Ali Said dari Republika. Berikut petikan wawancara di
tengah hujan deras di pagi, Jumat (1/3), tersebut:

Hingga sekarang, Anda masih aktif menulis?
Saya masih terus menulis. Tidak pernah berhenti. Sekali-kali menulis
untuk surat kabar di luar negeri seperti, World Paper dan Asahi
Shimbun. Mereka meminta saya menulis tentang berbagai hal, mulai dari
masalah lingkungan hidup sampai politik. Kegiatan wartawan saya belum
berhenti. Yang berhenti cuma di Indonesia saja, he..he..he.

Kenapa tidak seperti Rosihan Anwar atau BM Diah yang masih bergairah
menulis di sini?
Saya masih kasihan kepada kondisi pers sekarang ini. Akibat
pembatasan, kebebasan pers yang berlaku di Indonesia ini tidak bisa
berkembang sebagaimana seharusnya. Banyak hal-hal yang perlu diketahui
masyarakat, informasinya tidak bisa disalurkan lewat pers Indonesia.

Dalam kondisi seperti itu, apa tidak sebaiknya ada kompromi?
Tidak mau. Kalau kita yakin itu benar dan sudah kita periksa kembali,
berita atau informasi yang perlu diketahui masyarakat adalah kewajiban
kita sebagai media massa untuk menyampaikannya kepada masyarakat.
Kalau tidak, buat apa jadi media massa. Jadi, kita ikut-ikutan
menyensor informasi yang seharusnya diketahui masyarakat.

Ada anggapan bahwa pers terkadang terlalu membesar-besarkan masalah.
Menurut Anda?
Tergantung. Bisa saja sebuah masalah kecil diangkat dengan cara
tertentu bisa menimbulkan kesan menjadi masalah besar dan gawat. Tapi,
kalau begitu persnya yang salah dong. Jadi, pers harus bekerja
berdasarkan kebenaran.

Dulu, kalau tidak salah Indonesia Raya yang Anda pimpin selalu
meneriakkan slogan jihad. Jihad kepada korupsi, kepada penyalahgunaan
kekuasaan. Apa istilah ini berdasar keyakinan agama Anda?
Memang ada unsur keyakinan saya kepada perintah agama Islam sendiri
bahwa kita harus melawan kepada yang batil. Bahwa yang batil itu harus
kita hindari, atau kalau itu menyangkut kepentingan banyak orang, yang
batil demikian harus kita lawan. Agama kita pun memerintahkan, kalau
kita kebetulan wartawan, membela yang benar dan melawan yang batil.

Meski Anda sempat ditahan beberapa kali?
Itu resiko kita. Kalau surat kabar mau berfungsi sebagai alat
informasi masyarakat yang positif, kita tidak bisa menutup mata kepada
hal-hal negatif yang terjadi dalam masyarakat kita. Kalau kita lihat
ada pelanggaran-pelanggaran hukum, ada pelanggaran kepentingan umum,
tapi kita tutup mata karena kita ingin memelihara hubungan dengan
penguasa, ya kita salah dong. Kita tidak memenuhi tugas dan tanggung
jawab kita sebagai pers terhadap masyarakatnya.

Jadi untuk itu kita harus jihad terus?
Jangan alang kepalang. Kalau kita sudah mengambil sikap, jangan
mendua. Kalau surat kabar kita berjuang untuk kepentingan umum, itu
harus kita lakukan. Jadi, penuh keyakinan tapi jangan serampangan.
Jangan hanya mendengar berita-berita atau bisikan burung saja kemudian
kita melakukan pemberitaan di surat kabar. Jadi harus ada check and
recheck.

Pengalaman menarik dalam Anda "berjihad" itu apa?
Setelah kita melakukan kampanye anti korupsi seperti yang terjadi
dengan kasus Pertamina, ternyata banyak pihak yang membantu kita.
Bahkan, dari birokrasi pemerintah sendiri membawa segudang informasi
kepada kita, baik memberi petunjuk kepada informasi yang perlu kita
telusuri atau memberi informasi yang mereka miliki. Jadi, dalam
birokrasi pemerintahan kita jangan dianggap manusia-manusianya sudah
busuk. Tidak, masih banyak orang-orang yang menderita tapi karena dia
pegawai negeri tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi kalau ada kesempatan
dia bantu kita, karena yakin kita melakukan bukan untuk sensasi
belaka, tetapi secara murni. Kalau takut, mereka kirim surat yang
isinya memberi petunjuk informasi baru. Atau kalau tidak, mereka kirim
dokumen-dokumen yang kita perlukan. Kita kalau tidak ditolong
demikian, tidak akan bisa tegas dan kuat pembuktiannya.

Anda melihat pers sekarang masih menyuarakan anti korupsi?
Ada satu, dua. Tapi, kurang menggigit. Terutama pembuktiannya. Ada
yang terhenti di tengah jalan, sudah dimulai tapi tiba-tiba hilang
begitu saja.

Anda dulu dikenal pernah berkonflik dengan Bung Karno?
Ya, karena saya merasa orang seperti Sukarno yang sudah berjuang
membentuk kemerdekaan bangsa Indonesia sejak masa kolonial hingga
menjadi presiden, harus memberi contoh yang baik. Dan saya tidak
senang dengan apa yang dilakukannya dengan cewek-cewek. Beri contoh
yang benar dong kepada masyarakat kita.

Anda tidak mendendam kepada pihak yang memenjarakan Anda?
Tidak ada. Termasuk kepada birokrasi sekarang ini. Dengan beberapa
tokoh-tokoh pemerintah sekarang ini kalau ketemu saya baik-baik saja.

Anda merasa dibatasi?
Pembatasan yang paling saya rasakan adalah ditutupnya Indonesia Raya.
Ha..ha..ha. Saya ingin punya koran, tapi tidak boleh.

Tapi, kenapa Anda tidak menyalurkannya kepada surat kabar lain?
Tidak, saya kasihan nanti. Korannya yang ditutup atau mereka yang
tidak mau.

Rosihan Anwar saja masih mau nulis?
Nulisnya kan yang enteng-enteng, he...he. Saya lain dari dia, saya
ingin langsung ke jantung persoalan bangsa kita yang penting-penting.
Saya mau kritik, kalau memang perlu dikritik. Tapi, kalau yang
enteng-enteng, biarlah Pak Rosihan yang menulisnya.

Lalu bagaimana dengan tulisan Anda di media luar?
Saya tulis tentang Indonesia juga. Saya kritik juga. Saya menulis
seperti yang saya yakini. Tak ada tuang-tuangan air tawar ke dalamnya.
Tidak mau saya. Lebih baik saya tidak menulis daripada saya tidak
berani menyatakan keyakinan saya. Sejak Indonesia merdeka, saya
menganggap diri saya manusia merdeka kok. Merdeka berpikir, merdeka
menyatakan pikiran. Kalau tidak begitu kita masih terjajah dong. Jadi
manusia terjajah di negeri Indonesia merdeka, malu sendiri dong kepada
diri kita. Harus berani berfungsi sebagai manusia merdeka.

Ketika masa Orla, banyak kebijakan politik Bung Karno yang Anda
tentang. Kenapa?
Karena Bung Karno itu salah lihat, salah langkah. Itu menurut
keyakinan saya. Waktu dia mencetuskan gagasan Nasakom, nasionalisme,
agama dan komunisme jadi satu, itu kan gagasan yang tidak masuk akal.
Nasionalisme dan komunisme itu kan saling bertentangan secara
mendasar, apalagi agama. Orang komunis tidak bertuhan, orang beragama
Tuhan harus kita sembah karena Dia kekuasaan yang paling besar dalam
alam semesta ini. Itu saja sudah jadi konsep politik yang tidak masuk
akal. Itu membawa bangsa kita ke jalan yang sesat, karenanya saya
kritik terus. Dan saya merasa harus melakukan kritik tersebut supaya
kita tidak tersesat jalan. Ternyata benar, dengan terjadinya Gestapu.
Indonesia Raya benar, bahwa Nasakom tidak membawa sesuatu yang
positif bagi bangsa Indonesia, bahkan membawa kecelakaan, bencana
nasional yang sangat hebat. Berapa juta orang yang diperkirakan dunia
internasional mati terbunuh.

Anda yakin bahwa komunisme masih jadi bahaya laten?
Saya rasa jauh berkurang. Tapi, kita tetap harus waspada. Oleh karena
itu, banyak kritik saya terhadap perkembangan Indonesia sekarang.
Karena dengan adanya pembangunan ekonomi yang besar-besaran ini,
masuknya modal asing dan munculnya kapitalis-kapitalis dalam negeri
sendiri, itu menyebabkan perbedaan kedudukan ekonomi antara lapisan
bawah masyarakat kita dengan lapisan atas yang kecil jumlahnya itu
demikian menyolok. Jadi, orang kaya di Indonesia itu luar biasa, yang
miskin luar biasa juga. Kesenjangan yang demikian itu, sebenarnya
sangat berbahaya bagi sebuah masyarakat. Tidak hanya bagi masyarakat
Indonesia, tapi juga kepada masyarakat di mana pun juga. Kalau sudah
demikian, akan timbul ketegangan-ketegangan sosial dan politik.

Jadi, tidak perlu jadi orang komunis dulu, apalagi mereka yang ada di
lapisan bawah untuk merasakan adanya ketidakadilan dalam masalah ini.
Kenapa sekelompok kecil dengan mudah menjadi orang kaya yang
berfoya-foya, sementara masih banyak sekelompok besar masyarakat
berhari-hari sulit mencari makan, itu tidak perlu ada komunis. Dengan
sendirinya orang-orang yang diperlakukan tidak adil secara sosial,
ekonomi dan politik akan merasa kesal dan lama-lama menjadi marah.

Peran agama dalam menangkal komunisme?
Tidak cukup dengan agama. Orang beragama kan perlu makan. Ingin
kehidupan yang layak, tinggal dalam rumah yang cukup layak, bisa
mengirim anak-anaknya ke sekolah. Jadi, itu semua bisa jadi perhatian
pembuat kebijakan-kebijakan di bidang politik dan ekonomi di negeri
kita. Tidak bisa dibiarkan terus menerus suatu perbedaan tajam dalam
masyarakat.

Berkaitan dengan potensi ekonomi umat, apa pendapat Anda tentang
anggapan masih rendahnya etos kerja mereka?
Saya rasa orang Indonesia kalau dia yakin hasil keringatnya itu
memadai, jatuh juga ke dirinya, tidak hanya disedot oleh orang lain
yang mempekerjakan dia, itu bisa kerja keras. Tapi, kalau dia merasa
hasil kerja kerasnya diperas oleh mereka yang punya modal, akhirnya
ogah-ogahan dong. Dia tidak mengeluarkan seluruh kemampuan dirinya
untuk menyelesaikan tugas-tugasnya tersebut. Saya rasa itu sangat
manusiawi sekali kalau hasil tugas kita dinikmati orang lain, ya kita
malas-malasan saja. Dan itu masih berlangsung di masyarakat kita.

Selama ini, orang-orang kaya kan juga sudah membantu masyarakat,
misalnya melalui pajak?
Baru 20-30 persen untuk mereka yang punya aset trilyun atau miliaran
rupiah. Kenapa tidak 40-60 persen, toh mereka dapat uang dari
masyarakat, dari orang-orang miskin juga.

Selain pajak, mereka kan juga mengeluarkan sumbangan?
Itu saya rasa hanya sekali-kali saja seperti waktu Idul Fitri. Tapi
habis itu menderita lagi mereka selama hampir setahun penuh.

Seharusnya?
Seharusnya diinvestasikan kepada proses-proses yang bisa meningkatkan
taraf hidup lapisan masyarakat kita yang berkekurangan. Sebab manusia
itu kan punya rasa hormat diri. Jadi, masalah harga diri manusia
Indonesia lapisan bawah itu harus ditimbulkan sehingga mereka punya
harga diri dan punya kemauan yang lebih keras untuk memperbaiki
hidupnya. Tapi kalau hidup dari belas kasihan, itu jelas tidak baik.

Jadi, menurut saya, harus ada program khusus untuk memperbaiki taraf
hidup mereka. Lapangan kerja buat mereka harus dikembangkan. Dan kalau
tidak punya kemampuan kerja apa-apa, harus ada upaya pelatihan. Kita
tidak boleh mengatasi masalah kemiskinan dengan cara seorang penderma,
tidak akan habis-habisnya kemiskinan. Kita lawan kemiskinan dengan
menghapuskan kemiskinan, membuka kesempatan kepada mereka untuk
mengembangkan taraf hidupnya.

Bagi umat Islam, bekerja itu kan ibadah. Bagaimana, menurut Anda, agar
dakwah juga memacu etos kerja?
Saya melihat dakwah masih kurang memperhatikan segi-segi masyarakat
kecil. Saya rasa ulama-ulama Indonesia perlu berpikir ekonomis karena
pembangunan bangsa ini tidak hanya di bidang keagamaan atau
nilai-nilai moral saja. Tapi, juga ekonomi. Saya rasa semuanya itu
perlu diangkat ke atas agar kesenjangan antara yang kaya dan yang
miskin dapat dikurangi.

Menurut Anda, konsep hidup yang baik dan sejahtera itu seperti apa?
Hidup yang baik itu paling tidak memiliki tiga segi. Pertama, dia
bebas lapar dari hari ke hari. Sanggup memberi makan diri dan
keluarganya dengan makanan bergizi. Bergizi, sebab kalau tidak daya
pikir dan fisiknya lemah. Kemudian, dia harus bisa menambah
pengetahuannya. Lalu, dia harus jadi manusia yang bebas berpikir, yang
mengerti hak-haknya sebagai warga negara. Manusia merdeka itu ya
seperti itu. Kalau tidak begitu, ia tidak bisa mengungkapkan
kemerdekaannya sebagai manusia secara penuh untuk memajukan dirinya,
keluarganya, masyarakat, dan bangsanya.

Jadi, persyaratan untuk mengembangkan diri itu harus terpenuhi. Orang
itu tidak bisa dibatasi kebebasannya. Sebab kalau dia dibatasi, itu
sudah jadi kendala buat golongan lain yang bisa menggunakan
kebebasannya lebih baik. Jadi, baik si miskin ataupun si kaya itu
harus bisa menikmati kebebasannya dalam tataran yang sama.

Lalu, peran agama di mana?
Peran agama, bagi saya, itu harus berpusat di diri manusia
masing-masing. Agama itu tidak bisa dipaksakan. Ia harus datang dari
keyakinan diri kita. Barangkali yang menjadi masalah di sini, banyak
penganut agama yang kurang memahami nilai agama itu sendiri. Entah itu
karena tidak diajarkan di sekolah atau tidak mendapat penjelasan dari
ceramah-ceramah agama. Tapi saya tidak terlalu khawatir, karena agama
di Indonesia ini sudah ada ratusan tahun, sehingga sudah berakar dalam
diri rakyat Indonesia.

Tapi kenapa dekadensi moral semakin merajalela?
Itu selalu ada. Di samping nilai-nilai agama yang menyerap dalam diri,
ada juga pengaruh-pengaruh yang buruk dari luar. Apalagi setelah
globalisasi, pengaruh negatif itu semakin besar, dorongan untuk
memiliki harta lebih besar, melakukan hal-hal yang ditonton di film
atau televisi, meniru perilaku masyarakat Barat. Ada orang yang
matanya silau dan kepengin meniru seperti masuknya esctasy, cara-cara
berpakaian hingga perilaku buruk lainnya.

Masalahnya, generasi muda yang jadi korban paling banyak?
Betul. Tinggal keluarga yang jadi bentengnya. Mulai dari rumah hingga
lingkungan sekolah harus ada penerangan dan penjelasan tentang mana
yang baik dan tidak baik. Dan ini saya rasa jadi masalah yang cukup
besar seiring dengan semakin meningkatnya kemakmuran di Indonesia.
Semakin banyak uang yang mereka peroleh, dorongan ke arah konsumerisme
semakin bertambah kuat. Ini perjuangan yang cukup sulit dilakukan.

Satu-satunya jalan adalah membentengi diri sejak masih kecil. Orangtua
mendidik anaknya dengan nilai-nilai baik. Ini juga harus jadi
perhatian para ulama juga. Selain itu, pesantren-pesantren perlu lebih
mengembangkan pendidikan praktis perekonomiannya agar selepas dari
pesantren mereka bisa terapkan di masyarakat. Dengan demikian,
pesantren tidak hanya menjadi wadah pendidikan agama, tapi juga wadah
pendidikan ekonomi umat. Itu akan bagus sekali.

Anda sendiri belajar agama dari mana?
Waktu kecil setelah pulang sekolah dari HIS, setiap sore saya harus
pergi mengaji ke masjid bersama saudara-saudara yang lain. Kami diajar
bahasa Arab, mengaji Alquran, tafsir Alquran. Di Sungaipenuh, Kerinci,
Sumatra Barat, ayah saya menjadi kepala distrik di sana. Yang
menggantikan ayah setelah pensiun adalah ayahnya Rosihan Anwar.

Ketika di penjara, kabarnya Anda banyak belajar agama dari tokoh-tokoh
Masyumi?
Ya, saya kenal dengan Pak Natsir, Pak Prawoto, dan Pak Isa Anshari.
Mereka jadi teman-teman semua. Saya bahkan sering berdebat dengan
mereka terutama Kyai Isa Anshari. Saya senang dengan pemikirannya.

Kesan Anda terhadap mereka?
Mereka banyak membaca tidak hanya buku-buku Islam tapi juga filsafat
dari Barat sehingga wawasan mereka luas. Pak Natsir itu menguasai
filsafat Barat. Mereka ulama (menguasai ilmu agama), tapi juga
menguasai pemikiran-pemikiran dari Barat. Sekarang ini sulit mencari
orang-orang seperti mereka. Padahal umat membutuhkan orang-orang
seperti itu.

Kan ada yang muda-muda seperti Nurcholish Madjid?
Tapi Nurcholish kan jadi tokoh kontroversial. Sayang itu. Dulu sering
ketemu dengan saya dan saya sangat menghargai kebebasan berpikirnya.
Tapi kan akhirnya ditentang oleh umat Islam sendiri. Sekarang ini,
belum muncul tokoh sentral umat Islam.

Tapi kehidupan beragama kan semakin maju?
Maju dalam soal apa. Dalam soal kesadaran mungkin, tapi kan tidak
hanya maju dalam kesadaran. Umat Islam harus maju dalam kehidupan
sehari-hari, kehidupan ekonomi, ilmu pengetahuannya dan politiknya.
Itu semua harus ditingkatkan. Dengan jumlah penganut yang paling
pesar, partisipasi politik umat Islam seharusnya juga paling besar.
Kalau kondisi umat yang masih belum baik, itu tugas pemimpin-pemimpin
umat yang harus bekerja keras.

Ada obsesi Anda pribadi yang belum tercapai?
Tidak ada. Saya cukup bahagia dengan apa yang sudah ada pada saya.
Saya tidak ingin macam-macam yang hebat-hebat dan mewah-mewah.