profil deskriptif Mochtar Lubis (dari Pusat Data Analisa Tempo)

MOCHTAR LUBIS


Korannya, Indonesia Raya dua kali diberangus, di zaman pemerintahan Bung Karno, dan di zaman Pak Harto. Yang terakhir itu diberangus bersama koran lain setelah peristiwa ''Malari'', 1974. Di zaman Bung Karno bahkan ia cukup lama meringkuk dalam tahanan. Ketika itu ia mendapat penghargaan Ramon Magsasay dari Filipina -- diambilnya delapan tahun kemudian, setelah bebas dari tahanan. Ketika bekas senator Filipina, Benigno Aquino, tertembak, Mochtar bersama enam cendekiawan lainnya mendatangi Kedutaan Besar Filipina di Jakarta. Ia protes.

Mochtar memang terkenal keras. Mr. Moh Roem pernah berkata, ''Mochtar menyebut saya kepala batu. Tapi, dia sendiri kepala granit. Lebih keras dari batu.'' Namun, ucapan itu bukan pertanda permusuhan, mereka saling mengenal secara mendalam. Keduanya pernah meringkuk di penjara Madiun di zaman pemerintahan Bung Karno.

Lelaki dengan tinggi badan 182 sentimeter ini lahir di Sungaipenuh, Sumatera Barat, merupakan anak keenam dari sepuluh bersaudara. Ayahnya, Raja Pandapotan, adalah seorang demang merangkap mandor perkebunan milik Belanda. ''Kalau ada kuli kontrak yang lari, ayah saya yang memukuli,'' tuturnya mengenang masa mudanya. Karena itu, ayahnya tidak ingin bila anaknya menjadi pegawai pemerintah. Ketika Mochtar ingin menjadi dokter, ayahnya melarang karena toh akan bekerja pada pemerintah (Belanda).Selesai menempuh HIS, empat tahun, Mochtar masuk Sekolah Ekonomi INS di Kayutanam. Dari sana ia kemudian bekerja pada Bank Factory di Jakarta. Di zaman Jepang, ia aktif pada radio militer Jepang, kemudian jadi wartawan. Karier sastrawan ditapakinya dengan buku pertamanya, Si Djamal, 1950. Kemudian Djalan Tak Ada Udjung, 1952.

Sebagai anggota panitia Unesco, setahun empat kali ia ke Paris. Berbagai kegiatan itu menyebabkan ia tidak bergeming ketika korannya diberangus, karena ia masih bisa menulis di mana saja. Ia sering mendapat penghargaan dari tulisannya, termasuk Pena Emas dari World Paper (suatu wadah pemimpin redaksi sedunia).

Baginya, kerja wartawan adalah mencatat dan menuliskan kejadian yang faktual secara obyektif. Maksudnya, pandangan pribadi dan praduga sang wartawan tidak boleh masuk di sana. Ini dipegangnya teguh. Itu sebabnya beberapa karya fiksinya tidak sepenuhnya merupakan imajinasi, tetapi juga mengandung beberapa episode kehidupan nyata yang dilihat dan dialaminya.

Bermain tenis sejak usia 14 tahun, sampai sekarang masih diteruskannya tiga kali sepekan. Ketika dalam tahanan Orde Lama, ia mengenal yoga. Ini pun masih dilakukannya, selain jogging. Ia juga gemar berlatih kungfu. ''Bukan untuk cari musuh, tapi untuk kesehatan diri sendiri,'' katanya. Kegemaran lain, bercocok tanam di rumahnya, Jalan Bonang 17, Jakarta dan di kebunnya, dekat Puncak. Kegiatan itu sering dilakukannya bersama Hally, istrinya, dan ketiga anak serta lima cucunya