Rosihan Anwar tentang Mochtar Lubis

Berita Utama Kompas
Sabtu, 03 Juli 2004


"In Memoriam" Mochtar Lubis


Oleh Rosihan Anwar

MOCHTAR LUBIS (82) hari Jumat (2/7), tepatnya pukul 19.15, meninggal dunia di
Rumah Sakit Medistra, Jakarta. Rabu pekan lalu dia sesak napas,
kerongkongannya penuh lendir, lalu dibawa ke rumah sakit dan masuk ruang unit
perawatan intensif. Tiga hari kemudian ia pindah kamar dan Rabu lalu
keadaannya agak mendingan. Namun, Jumat malam kemarin ia dipanggil oleh Tuhan
Yang Maha Esa.

Sejak hampir dua tahun dia menderita penyakit alzheimer, dan belakangan ini
nyaris tak mengenal orang yang terdekat dengannya.

Sejak istrinya, Halimah, tutup usia pada 27 Agustus 2001, dia kehilangan orang
yang sangat dicintainya. Sunyi. Apabila melihat Halimah sedang tak ada,
Mochtar terus bertanya, "Di mana Ibu?"

Dalam pertemuan para wartawan senior, ketika sedang makan, tiba-tiba dia
berkata, "Kau dengar itu, suara Hally?"

Kesehatannya kian mundur. Beberapa bulan yang lalu saat dirawat di Rumah Sakit
Cikini, saya kunjungi Mochtar. Sama sekali dia tiada mengenal lagi. Praktis
sudah ibarat a vegetable.

Mochtar Lubis lahir di Padang, Sumatera Barat, 7 Maret 1922. Ayahnya pegawai
Binnenlands Bestuur (BB) Pemerintah Hindia Belanda yang pada tahun 1935
pensiun sebagai Demang Kepala Daerah Kerinci. Demang Pandapotan itu digantikan
oleh ayah saya, Demang Anwar Maharadja Soetan.

Setelah tamat HIS Sungai Penuh, Mochtar masuk sekolah ekonomi di Kayutanam
pimpinan SM Latif. Seperti halnya dengan sekolah INS pimpinan M Syafei, juga
di Kayutanam, murid-muridnya diajar mengembangkan bakat melukis, mematung,
bermusik, dan sebagainya.

Mochtar sebentar jadi guru sekolah dasar di Pulau Nias, kemudian pindah ke
Jakarta. Di zaman Jepang dia bekerja sebagai anggota tim yang memonitor siaran
radio sekutu di luar negeri untuk keperluan Gunseikanbu, Kantor Pemerintah
Bala Tentara Dai Nippon. Tahun 1944 dia menikah dengan Halimah, gadis Sunda
yang bekerja di sekretariat redaksi harian Asia Raja.

Pada tahun 1945 dia bergabung dengan kantor berita Antara. Menjelang
penyerahan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949, dia menjadi Pemimpin
Redaksi Surat Kabar Indonesia Raya. Tatkala pertengahan tahun 1950 pecah
Perang Korea, Mochtar meliput kegiatan itu sebagai koresponden perang.

Pada paruh pertama dasawarsa 1950-an pers di Jakarta dicirikan oleh personal
journalism dengan empat editor berteman dan berantem, yaitu Mochtar Lubis
(Indonesia Raya), BM Diah (Merdeka), S Tasrif (Abadi), dan Rosihan Anwar
(Pedoman).

Yang paling militan di antara empat sekawan tadi ialah Mochtar Lubis. Tahun
1957 dia dikenai tahanan rumah, kemudian dipenjarakan. Semuanya selama
sembilan tahun sampai tahun 1966.

SEBAGAI wartawan, dia bikin berita gempar pada berbagai afair. Pertama, afair
pelecehan seksual yang dialami Ny Yanti Sulaiman, ahli purbakala, pegawai
Bagian Kebudayaan Kementerian P & K. Bosnya tidak saja mencoba merayu Yanti,
tetapi juga mengeluarkan kata-kata seks serba "seram". Kedua, afair Hartini
ketika terungkap hubungan Presiden Soekarno dengan seorang wanita di Salatiga
yang mengakibatkan Ny Fatmawati marah dan meninggalkan istana. Ketiga, afair
Roeslan Abdulgani. Menurut pengakuan Lie Hok Thay, dia memberikan uang satu
setengah juta rupiah kepada Roeslan yang berasal dari ongkos mencetak kartu
suara pemilu. Akibatnya, Menteri Luar Negeri (Menlu) Roeslan Abdulgani yang
hendak pergi menghadiri konferensi internasional mengenai Terusan Suez mau
ditahan oleh CPM tanggal 13 Agustus 1956, tetapi akhirnya urung berkat
intervensi Perdana Menteri (PM) Ali Sastroamidjojo.

Setelah Indonesia Raya tidak lagi terbit, tahun 1961 Mochtar dipenjarakan di
Madiun bersama mantan PM Sutan Sjahrir, Mohammad Roem, Anak Agung Gde Agung,
Sultan Hamid, Soebadio Sastrosatomo, dan lain-lain. Semuanya dinilai sebagai
oposan Presiden Soekarno.

Tahun 1968 Indonesia Raya terbit kembali. Mochtar melancarkan investigasi
mengenai korupsi di Pertamina yang dipimpin Letjen Dr Ibnu Sutowo.
Utang yang
dibikin Ibnu Sutowo di luar negeri mencapai 2,3 miliar dollar AS. Ia
diberhentikan oleh Presiden Soeharto.

Ketika terjadi peristiwa Malari, Januari 1974, para mahasiswa mendemo PM
Jepang Tanaka, Pasar Senen dibakar, disulut oleh anak buah Kepala Opsus Ali
Moertopo. Soeharto jadi gelagapan. Ia instruksikan membredel sejumlah surat
kabar, antara lain Indonesia Raya, Pedoman, dan Abadi.

Setelah bebas lagi bergerak pasca-G30S/PKI, Mochtar banyak aktif di berbagai
organisasi jurnalistik luar negeri, seperti Press Foundation of Asia. Di dalam
negeri dia mendirikan majalah sastra Horison. Ia menjadi Direktur Yayasan Obor
Indonesia yang menerbitkan buku-buku bermutu. Selain sebagai wartawan, Mochtar
juga dikenal sebagai sastrawan. Pada mulanya dia menulis cerita pendek
(cerpen) dengan menampilkan tokoh karikatural Si Djamal. Kemudian dia menulis
novel, seperti Harimau Harimau, Senja di Jakarta, Jalan Tak Ada Ujung, dan
Berkelana dalam Rimba. Dia memperoleh Magsaysay Award untuk jurnalistik dan
kesusastraan.

Sebagai orang yang memiliki banyak bakat, tidak heran bila Mochtar pandai
melukis. Ketika ditahan di penjara Madiun, dia menjadi perupa. Sebagai
budayawan, dia aktif dalam berbagai kegiatan di Taman Ismail Marzuki. Dia
anggota Akademi Jakarta sedari semula hingga sekarang.

Tak perlu ditambahkan bahwa dalam kehidupannya dia membuktikan berjiwa dan
berperan sebagai pahlawan, seperti pahlawan kebebasan pers, pahlawan
berkreasi.
Sesungguhnya dia dapat disebut 5-wan, yakni wartawan, seniman,
sastrawan, budayawan, dan pahlawan.

Karena Mochtar dihargai sebagai pahlawan yang berjuang untuk cita-cita dan
berani memikul konsekuensinya, seperti mendekam dalam penjara bertahun-tahun
lamanya, paling tidak orang-orang di kampung halamannya, di Mandailing,
memberikan sebutan kehormatan kepadanya. Menurut putranya, Ade Armand Lubis,
tatkala Mochtar beserta istri dan anak-anaknya pulang kampung, di sana dia
dinyatakan sebagai Raja Pandapotan Sibarani Sojuangan. Adapun Raja Pandapotan
itu gelar Mochtar. Sibarani dan Sojuangan adalah orang yang berani dan
berjuang.

Penamaan lain diberikan oleh Dr Mochtar Pabottingi, peneliti Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia. Ketika Mochtar merayakan hari ulang tahun ke-80,
seorang pembicara, yaitu Mochtar Pabottingi, menamakan Mochtar Lubis person of
character, insan yang berwatak.
Di negeri kita sekarang makin langka person of
character itu. Bung Hatta di zaman pendidikan nasional Indonesia awal tahun
1930-an suka menyerukan agar tampil manusia-manusia yang punya karakter.

Ketika tahun 1973 diusulkan oleh panitia yang diketuai Jenderal AH Nasution
supaya kepada tiga wartawan pejuang dianugerahkan Bintang Mahaputra, yaitu BM
Diah, Rosihan Anwar, dan Mochtar Lubis, kabarnya Presiden Soeharto bertanya
kepada Jenderal Soemitro: "Mit, coba beri saya alasan, mengapa Mochtar Lubis
harus dapat Bintang Mahaputra."

Soemitro tidak bisa menjawab ketika itu, akhirnya nama Mochtar Lubis dicoret.
Saya berpendapat, sekalipun sudah anumerta, Mochtar Lubis pantas diberi
Bintang Mahaputra. Semoga Presiden RI masa jabatan 2004-2009 akan memberikan
Bintang Mahaputra kepada Mochtar Lubis.

Kini Mochtar Lubis sudah tiada. Ya Tuhan, sambutlah kedatangannya, bukakanlah
pintu selebar-lebarnya baginya, maafkan dosa dan kesalahannya. Semoga Tuhan
menerima arwah Mochtar di sisi-Nya. *


http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0407/03/utama/1128091.htm