Wawancara Mochtar Lubis dengan Media Alam Sumatera (WWF)

Mochtar Lubis:


"Wajah Indonesia Sudah Bopeng-bopeng"

Mochtar Lubis merupakan tokoh yang "gentayangan" di mana-mana. Selain sastrawan, budayawan dan juga wartawan, pria kelahiran Padang 79 tahun yang lalu itu, juga dikenal sebagai tokoh LSM: memimpin Yayasan Obor Indonesia, yang menerbitkan buku-buku tentang hutan dan lingkungan hidup, dan anggota dewan penyantun Yayasan LBH Indonesia (mundur tahun 1996). Sebagai sastrawan, ia kerap mendapat penghargaan. Novelnya "Harimau, Harimau" mendapat hadiah sastra dari Yayasan Buku Utama, disamping penghargaan yang diterima untuk karyanya yang lain –di antaranya Piagam Maqsaysay dari Filipina tahun 1958 dan dikembalikan tahun 1995, sebagai protes atas terpilihnya sastrawan Pramudya Ananta Toer sebagai penerima penghargaan serupa.

Melalui "Harimau,Harimau", ia mengungkap berbagai sisi gelap atau kelemahan dasar bagi manusia: berhubungan dengan nafsu, yang pantang diakui dan disembunyikan di bawah permukaan kehidupan sosial.

Juga tentang bagaimana kemungkinan manusia bisa mengatasi kelemahan-kelemahannya. Sebagai "alat" untuk memperlihatkan ini, Mochtar Lubis memanfaatkan alam Sumatera sebagai arena dan satwa harimau serta mitos dewa harimau sebagai alat pembongkar kebenaran. Untuk mengetahui lebih jauh pikiran-pikirannya soal harimau, dalam kaitan dengan hutan yang menjadi setting novelnya, redaksi AS&P mewawancarai Mochtar Lubis di kediamannya, awal bulan ini. Petikannya:

Dari mana Anda mendapat inspirasi untuk menjadikan harimau sebagai salah satu tokoh dalam novel itu?
Inspirasi itu saya dapatkan ketika masih sekolah di Sekolah Ekonomi di Kayu Tanam, Sumatera Barat. Kami diajak mengenal tumbuh-tumbuhan dan hewan yang ada di dalam hutan. Kami masuk dan menginap hingga empat sampai lima malam. Tidak ada tenda atau peralatan lain, seperti kemah anak-anak muda sekarang. Kami harus belajar hidup dalam hutan. Kami dididik, dilatih supaya tidak takut masuk hutan yang kaya dengan keindahan. Waktu pertama kali memang kesal juga. Tapi setelah masuk beberapa kali, kami menjadi tertarik dan selalu minta ada kegiatan masuk hutan lagi.

Anda sempat bertemu harimau?
Kebetulan kami tidak bertemu. Waktu itu kami semua sangat takut dengan harimau. Jadi kalau sempat ketemu, saya ngeri juga. Sebab di Minangkabau, harimau tabu dibicarakan.

Di Minangkabau, harimau juga disebut cindaku: harimau jadi-jadian yang suka mengganggu manusia
Ha, ha, ha.... Waktu kecil saya memang sering ditakut-takuti dengan cindaku. Tapi saya tidak tahu mengapa ada istilah cindaku untuk harimau pengganggu itu.

Dalam novel Anda, harimau disimbolkan sebagai satwa pengganggu manusia. Bagaimana ceritanya?
Sebagai salah satu penghuni hutan, harimau bagaikana raja rimba raya. Tapi bukan simbolisasi jahat yang saya tonjolkan terhadap harimau. Hewan ini juga bukan simbol kesatriaan. Ini sebetulnya tergantung dari tindak-tanduk dan tingkah laku manusia. Jika habitatnya diganggu, ia marah dan menerkam manusia.

Rasa takut terhadap harimau dan dewanya, mencerminkan bahaya nyata jika manusia hidup bertetangga dengannya. Ini dilema bagi konservasionis?


Saya pikir, perlu ada penyadaran pada masyarakat bahwa satwa yang ada dalam hutan perlu diselamatkan dari kepunahan. Sebab kebanggaan kita tinggal lagi pada harimau. Bagaimana caranya, kita bersama-sama mempertahankan habitatnya, yakni hutan yang masih tersisa.

Kelompok anti konservasi sering mengkritik, mengapa harimau, badak, gajah dan mamalia lainnya dibela mati-matian, padahal mereka mengganggu kehidupan manusia?Kembali pada penyadaran tadi. Ajak mereka untuk tidak bersikap dan bertindak yang bertujuan memusnahkan kehidupan makhluk hidup selain manusia. Kita harus menghormati kehidupan harimau, monyet, beruang dan lain-lain. Kehidupan satwa itu punya arti bagi kehidupan manusia. Kalau manusia sudah tidak menghargai makhluk lain, berarti ia sudah merusak kehidupannya sendiri.

Konsekuensi dari kepunahan sejumlah satwa yang dilindungi (karena diburu dan diperdagangkan), Indonesia dikecam karena melanggar konvensi perdagangan satwa (CITES). Apa akibatnya bagi Indonesia?
Bukan hanya dikecam, tapi juga dikucilkan. Sebab kita sudah sepakat untuk melindungi dengan menandatangani konvensi itu. Nama baik kita makin rusak di dunia internasional. Mereka pasti melakukan boikot.

Perdagangan satwa dikecam, perdagangan kayu dikritik, seperti apa wajah negeri ini di luar negeri?
Bopeng-bopeng, ha,ha,ha.... Ya, ‘kan. Wajah Indonesia sudah bopeng-bopeng di luar negeri, karena kita seenaknya melanggar perjanjian yang sudah disepakati . Mengapa kita memburu harimau, gajah, badak, beruang, monyet dan lain-lain itu? Mengapa orang leluasa menangkap burung lalu memenjarakan dalam sangkar? Bagaimana kalau kita yang justru dikandangkan dalam kerangkeng. Mau nggak kita?

Cerita soal penjara, Mochtar Lubis memang sudah kenyang mengalami. Di era Soerkarno berkuasa, ia sempat dikurung (1957-1966) gara-gara kritis terhadap kebijakan pemerintah. Begitupun di era Soeharto, ia sempat meringkuk 2,5 bulan. Kedua-duanya tanpa proses pengadilan. Karena itu ia juga tidak setuju jika hewan ikut di penjara. "Saya tidak setuju dengan konsep kebun binatang, yang mencampakkan berbagai jenis hewan habitatnya. Konsep itu tidak benar," kata Mochtar Lubis dengan nada bicara agak meninggi.

Mengapa keberatan dengan konsep kebun binatang?
Karena satwa-satwa itu dikurung. Terus terang, dalam kurungan tidak ada kebebasan. Hewan seperti burung tidak bebas mengepakkan sayapnya. Harimau, monyet, orangutan dan sebagainya, tidak leluasa menikmati hidup. Untuk apa mereka hidup jika sudah tidak ada kebebasan. Coba kalau dibalik, Anda dimasukkan ke dalam kerangkeng dan ditonton oleh hewan-hewan.

Mungkin, dengan kebun binatang, satwa yang langka bisa diselamatkan. Bisa juga anak-anak bisa dikenalkan sejak dini tentang makhluk lain selain manusia?
Bukan begitu caranya. Bukan dengan membuatkan penjara. Kalau untuk bahan pelajaran, bisa melalui gambar atau foto-foto. Ini lebih manusiawi daripada ditangkap lalu dipertontonkan. Keberadaan kebun binatang tidak mendidik anak-anak menghargai kehidupan yang sebenarnya.

Dari mana awal penolakan kebun binatang ini?
Para pecinta binatang sudah lama menolak kebun binatang yang tidak membiarkan satwa itu hidup bebas.

Kenyataannya, para penyayang binatang lebih banyak memelihara piaraannya dalam kandang yang disiapkan?
Menyayangi tidak harus mengandangkan. Kalau ingin mengoleksi, siapkan habitatnya. Biarkan satwa itu menikmati hidupnya di alam bebas. Habitatnya bukan sebatas dan seluas kandang yang disiapkan.

Berarti seperti yang dikembangkan di taman safari?
Saya rasa harus seperti itu. Luasan areal yang menjadi habitat satwa-satwa itu mencukupi dan tidak dikandangkan. Mereka bebas bermain di alam . Kalau kita ingin menikmati, bukan dengan memenjarakannya.

Mochtar Lubis memang seorang tokoh yang konsisten dengan sikapnya. Ia punya pengalaman luas dan kapasitas intelektual yang tinggi, visioner, tapi rendah hati. Komitmen kebangsaannya tidak perlu diragukan. Upaya memperjuangkan demokrasi tidak pernah berhenti ia lakukan. Kebebasan berbicara dan berpendapat, melalui kebebasan pers, adalah sesuatu yang mutlak. Ia rela suratkabar Indonesia Raya —yang dipimpinnya— diberangus, daripada memilih jalan kompromi. "Sejak kecil kami sekeluarga diajari untuk berbicara jujur. Kalau ketahuan berbohong, mulut kami dilumuri cabe," tutur Mochtar tentang sikap hidupnya yang sudah terbentuk sejak dini. Sekolah di Kayu Tanam merupakan masa-masa indah yang dinikmatinya, karena sudah mengenal alam sebagai salah satu karunia Tuhan, sejak dini.

Masa kecil Anda bisa membuat iri generasi sekarang, yang tidak menikmati lagi kekayaan alam Indonesia?
Ha, ha, ha (Mochtar tercenung sebentar)... Memang, proses kerusakan hutan terjadi begitu cepat dan pemerintah ternyata tidak mampu menahan dan mengantisipasi. Saya tidak tahu mengapa kerusakan itu dibiarkan.

Kan sudah ada peraturan yang melindungi?
Pengusaha yang mendapat izin konsesi, tidak ada yang peduli. Dengan mendapat konsesi mereka seolah-olah boleh menebang kayu seenaknya. Sekarang harus direm, kalau kita tidak mau kehilangan semua. Itu pun tergantung masyarakat. Kalau desakan untuk mempertahankan hutan cukup kuat, masih ada harapan untuk menahannya.

Sebetulnya di mana letak persoalannya?
Itu ada dalam diri kita masing-masing. Mungkin sebagian dari kita belum menyadari apa artinya hutan rimba kalau sudah hancur. Padahal kalau hutan hancur, maka sumber air dan sumber kehidupan manusia juga ikut hancur.

Kesalahan itu, konon, berasal dari pemerintah, yang terlalu mengandalkan pertumbuhan Kayu menjadi primadona sehingga dieksploitasi besar-besaran?

Faktor ini punya peran . Tapi pengertian pemeliharaan hutan dan sumber-sumber air di masa datang adalah satu hal yang sangat penting. Sudahkah kita menyadari akan hal itu?

Kerusakan hutan tidak hanya berakibat pada sumber kehidupan manusia, tapi juga kelangsungan hidup satwa? Iya. Ini harus ada pengawasan yang ketat dari pemerintah. Sebab persoalannya bukan saja karena habitatnya terganggu. Juga karena orang leluasa memburu satwa itu dengan berbagai cara. Adakah kemauan kita semua, termasuk pemerintah, menyelamatkannya dari kepunahan?

Pendekatan law enforcement tidak cukup. Apalagi yang bisa menghentikan itu semua?
Harus ada penyadaran melalui penanaman nilai-nilai. Kita akui, pelestarian sumberdaya alam dan kehidupan yang ada di dalamnya perlu diselamatkan. Kita sebetulnya kaya dengan keragaman hayati dan plasma nutfah. Ini adalah aset yang perlu diselamatkan.

Cukup besar ya, kerugiannya?
Ya, betul. Kita harus bisa memelihara dan melestarikan. Serahkan kepada pemerintah. Kita ini ‘kan hanya sekadar megingatkan. Pemerintah yang harus mengawasi sehingga kelestarian alam dan hutan berlangsung terus menerus. Pemerintah harus aktif turun ke lapangan, mengawasi sumberdaya yang ada di dalamnya.

Caranya?
Kita bisa meyakinkan pemerintah agar menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan rakyat, menyelamatkan satwa, hutan rimba yang sangat penting artinya bagi anak cucu kita. Kalau hutan rimba sudah seperti padang pasir, pasti anak cucu kita akan menyesali nenek moyang mereka yang membiarkan begitu saja kehancuran itu.

Anda sangat berharap tapi pemerintah kurang peduli? Kalau faktanya sudah hancur dan pemerintah belum bertindak, ini merupakan gejala menarik. Tapi, jangan menyerah. Lakukan investigasi dan lengkapi dengan fakta-fakta yang terjadi, lalu laporkan pada pemerintah. Apa dengan laporan lengkap itu pemerintah belum tergugah? (Mochtar berhenti sejenak)... Memang pemerintah belum memberi perhatian serius terhadap kehancuran yang terjadi.

Perhatian seperti apa yang akan diharapkan lagi, setelah kehancuran terjadi di mana-mana?
Sewaktu mengeluarkan izin konsesi kepada pengusaha, mestinya ada peraturan yang mengharuskan mereka bertanggung-jawab terhadap kawasan yang dikelola serta kawasan hutan yang ada di sekitar areal konsesi. Jika izin konsesi habis, lahan yang ditinggal tetap jadi hutan. Kayu-kayu yang semula ditebangi sudah mulai tumbuh. Kalau tidak, tuntut mereka, sesuai kesepakatan. Kalau dibiarkan, kawasan itu hanya akan jadi padang pasir.

Peraturannya sudah seperti itu. Tapi faktanya, pengusaha meninggalkan bengkalai hutan yang sudah rusak?
Kalau begitu faktanya, pers harus lakukan investigasi. Sajikan dengan akurat akal-akalan para pengusaha, biar diketahui pemerintah. Kalau masih tidak peduli, kasihan juga ya, pemerintahan kita sekarang. Tapi bukan berarti kita menyerah dan mendiamkannya. Kita perlu memberikan informasi yang lengkapnya dan seakurat mungkin. Sayang hanya sedikit media yang menyoroti masalah kerusakan hutan dan sumberdayanya.

Apa karena kalah bersaing dengan isu politik dan ekonomi yang menghangat belakangan ini?
Kalau tulisannya disajikan secara lengkap dan mudah dipahami, orang akan membacanya. Ia bisa menjadi berita menarik, sepanjang wartawannya menguasai persoalan. Banyak rakyat kita yang sadar dan menginginkan kawasan hutan beserta sumberdayanya tidak hancur dan yang tersisa dipertahankan. Orang-orang di kota membutuhkan kawasan yang kaya flora dan fauna.

Mungkin perlu kiat khusus untuk menyajikan sehingga tulisannya diminati?
Tidak begitu sulit asal sungguh-sungguh. Sebelum melakukan investigasi, Anda perlu pelajari dan pahami akar masalahnya lebih dulu. Bicara dengan ahli-ahlinya. Dengan bahan dan pengetahuan yang ada baru lakukan investigasi, sehingga persoalan yang akan ditelusuri begitu mudah terlihat. Ketika sudah menyaksikan langsung fakta kerusakan, penyajian dalam bentuk tulisan akan lebih mudah dan orang makin memahami akan risiko kerusakan yang sudah terjadi.

Soal menyajikan fakta ke dalam berita, Mochtar Lubis memang jagonya. Melalui Indonesia Raya, ia melakukan investigasi tentang kasus korupsi di Pertamina. Data-data yang diperolehnya berkarung-karung, tanpa sempat diungkap karena tekanan politik waktu itu. Dan juga, Indonesia Raya keburu diberangus tahun 1974. Tapi ia tidak pernah patah arang. Semuanya, ia yakini sebagai "harga" untuk menegakkan demokrasi. Kini di usianya yang hampir kepala delapan, Mochtar bangga menyaksikan kehadiran ratusan media cetak yang beredar di masyarakat. Hanya, "Tidak banyak yang mampu mengungkapkan fakta dengan lengkap, jujur dan memihak rakyat kecil," ungkapnya dengan nada sedikit kecewa, mengakhiri perbincangan yang cukup akrab di rumahnya yang asri, Jalan Bonang, Jakarta Pusat. (ET)