In Memoriam Mochtar Lubis (Sinar Harapan)

Sinar Harapan, 3 Juli 2004


Biografi Tokoh-Tokoh

In Memoriam Mochtar Lubis: Mengapa Takut kalau untuk Kepentingan Bangsa?

JAKARTA - Saya sendiri heran mendengar orang berkata bahwa Mochtar Lubis itu pemberani… Ada pergulatan terus dalam diri saya kalau mau melawan terhadap orang-orang besar, terhadap orang-orang berkuasa, orang-orang yang bisa menangkap kita setiap saat.
Bukan tidak ada rasa takut. Saya bergulat terus dengan rasa takut saya itu. Tapi pertahanan saya adalah: kenapa kita harus takut kalau kita yakin bahwa yang akan kita kemukakan itu adalah benar, untuk kepentingan masyarakat, untuk kepentingan bangsa.

Demikian sepenggal ungkapan Mochtar Lubis yang direkam dalam buku Mochtar Lubis Wartawan Jihad. Mochtar Lubis (82) memang memegang teguh prinsip tentang kebenaran, sehingga ia sangat memperhatikan masalah kebebasan pers, serta kebebasan menyatakan pikiran dan pendapat.

Sosok yang jangkung untuk ukuran orang Indonesia, yakni 1,82 meter, Mochtar Lubis adalah Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi harian Indonesia Raya yang telah tujuh kali dibredel. Enam kali pada masa Orde Lama dan satu kali pada masa Orde Baru, tetapi fatal.

Selama masa Orde Lama, lima wartawannya ditahan dari beberapa hari sampai sebulan. Mochtar sendiri menjadi tahanan rumah dan lembaga pemasyarakatan (LP) hampir terus menerus selama sembilan tahun. Pada masa Orde Baru ia ditahan lagi selama 2,5 bulan.

Kini Mochtar Lubis tinggal kenangan. Ia telah meninggal di Rumah Sakit (RS) Medistra, Jakarta, Jumat (2/7), pukul 19.00, setelah dirawat selama seminggu.

Sakit flu menyebabkan pria kelahiran Padang, 7 Maret 1922 ini tidak bisa mengeluarkan dahak; ia sudah lama menderita asma.

Sabtu (3/7) hari ini pukul 10.00 jenazahnya disemayamkan di Taman Ismail Marzuki (TIM), dan dimakamkan di samping makam istrinya, Halimah, di Taman Pemakaman Umum (TPU) Jeruk Purut.

Sebelumnya, sejak 1994, budayawan, novelis dan wartawan senior ini menderita penyakit alzheimer. Selama dua tahun terakhir ini ia hampir tidak mengenal lagi orang-orang terdekatnya. Menurut kedua putranya, Iwan dan Arman Lubis, kesehatan Mochtar terus menurun sejak istrinya meninggal tahun 2001.

Gunawan Harmoko, wartawan Indonesia Raya yang ketika itu ikut membongkar kasus korupsi, mempunyai kesan tentang Mochtar Lubis. "Ia orang yang luar biasa, orang besar dalam dunia pers. Sampai sekarang di antara orang-orang pers yang sudah meninggal dan masih hidup, tidak ada yang lebih hebat daripada Mochtar Lubis," katanya.

Kebenaran, kebebasan, hak asasi manusia dan antiamplop. Itulah selalu pesan Mochtar kepada semua anak buahnya. Mochtar juga tidak rasialis, buktinya Indonesia Raya adalah koran satu-satunya yang tidak menyebut Cina tapi Tionghoa. "Tidak menyebut Republik Rakyat Cina (RRC) tapi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) karena memang namanya Tiongkok," kata Gunawan kepada SH.

Gunawan juga masih ingat ketika Mochtar meninjau Pulau Buru, tempat pembuangan orang-orang yang dituduh komunis. Mochtar mempertanyakan mengapa para tahanan itu tidak diberi peralatan yang sesuai dengan minat mereka tetapi malah diberi cangkul. Padahal Mochtar termasuk antikomunis.
Kesan juga masih melekat di benak Victor Sihite, wartawan senior Sinar Harapan yang tahun 1968 bekerja di Indonesia Raya karena kagum terhadap surat kabar yang mendapat julukan sebagai koran jihad terhadap korupsi, skandal dan kebobrokan di kalangan pejabat pemerintah itu.

Mochtar adalah seorang periang, blak-blakan dan terbuka. Jika tulisan wartawan jelek ia katakan jelek dan jika bagus tidak segan-segan memujinya. Bagi wartawan yang menerima amplop akan dipecat. Mochtar sendiri konon pernah didekati seorang utusan penguasa Orde Baru dalam rangka "menjinakkan".
Utusan itu mengatakan bahwa di Kalimantan masih ada ratusan ribu hektare hutan yang belum bertuan dan silakan digarap, akan disiapkan HPH-nya. Tapi Mochtar dengan halus menampiknya. "Anda sajalah yang menggarap karena Anda lebih ahli soal hutan. Keahlian saya cuma tulis-menulis," kata Mochtar.
Mochtar juga menampung seorang wartawan Yogyakarta yang saat itu mendapat teror dari penguasa karena getol mengorek skandal pemerkosaan terhadap seorang wanita pedagang telur oleh anak-anak pejabat di Yogyakarta. Peristiwa itu terkenal dengan kasus Sum Kuning.

Membongkar Korupsi
Prinsip tentang kebenaran telah mendorong Mochtar untuk melontarkan kritik-kritik tajam, termasuk mengritik korupsi di perusahaan minyak Indonesia. Sekitar tahun 1951, ketika karisma Bung Karno masih sangat kental, ia sudah melancarkan kritik terhadap politik Presiden pertama RI itu.

Selama setengah tahun terakhir pada 1956, tiga peristiwa penting terjadi pada Indonesia Raya, sebelum akhirnya dibredel. Indonesia Raya gencar memberitakan tentang rencana penahanan Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani sesaat sebelum berangkat ke London. Pada waktu itu Roeslan diduga terlibat korupsi bersama Lie Hok Thay. Penahanan Roeslan akhirnya gagal berkat intervensi Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo.

Setelah Indonesia Raya tidak lagi terbit, tahun 1961 Mochtar dipenjarakan di Madiun bersama mantan PM Sutan Sjahrir, Mohammad Roem, Anak Agung Gde Agung, Sultan Hamid, Soebadio Sastrosatomo dan lain-lain. Semuanya dinilai sebagai oposan Presiden Soekarno.

Tahun 1968 Indonesia Raya terbit kembali, kemudian Mochtar melancarkan investigasi mengenai korupsi di Pertamina yang dipimpin Letjen Dr. Ibnu Sutowo. Utang yang dibuat Ibnu Sutowo di luar negeri mencapai US$ 2,3 miliar. Ia diberhentikan oleh Presiden Soeharto.

Keluarga besar Indonesia Raya secara resmi "bubar jalan" tahun 1974 setelah koran itu diberangus menyusul peristiwa yang terkenal dengan sebutan Malari (Malapetaka Januari 1974). Ketika itu para mahasiswa mendemo PM Jepang Tanaka. Ketika itu Pasar Senen dibakar, disulut oleh anak buah Kepala Opsus Ali Moertopo. Maka Presiden Soeharto menginstruksikan membreidel sejumlah surat kabar antara lain Indonesia Raya, Pedoman dan Abadi.

Selanjutnya meski bukan sebagai wartawan lagi, Mochtar tetap gemar melakukan kritikan. Sembilan hari setelah Presiden Soeharto menyampaikan amanat di DPR pada 16 Agustus 1983, dia menulis keras dalam harian Kompas. Dia menyatakan bahwa apa yang tidak diucapkan oleh Soeharto jauh lebih penting dibanding dengan yang diucapkan, yakni persoalan korupsi yang sudah mengakar.

Mochtar juga banyak aktif di berbagai organisasi jurnalistik luar negeri, seperti Press Foundation of Asia. Di dalam negeri mendirikan majalah sastra Horison dan menjadi Direktur Yayasan Obor Indonesia yang menerbitkan buku-buku bermutu. Selain sebagai wartawan, Mochtar juga dikenal sebagai sastrawan. Pada mulanya menulis cerita pendek (cerpen) dengan menampilkan tokoh karikatural Si Djamal. Kemudian menulis novel seperti Harimau Harimau, Senja di Jakarta, Jalan Tak Ada Ujung, Berkelana dalam Rimba. Dia memperoleh Magsaysay Award untuk jurnalistik dan kesusastraan.
Selamat jalan, wartawan jihad!

SH/tutut herlina/victor sihite/wahyu dramastuti
Sumber: Sinar Harapan, 3 Juli 2004