Catatan Budaya tentang Mochtar Lubis (Pikiran Rakyat)

Mochtar Lubis

KITA mengenal Pak Mochtar Lubis sebagai sosok yang serba bisa, berani dan kokoh dalam pendirian. Agak sulit menempatkan sosoknya dalam salah satu bidang saja. Ia adalah wartawan, sastrawan, pelukis dan juga penggemar banyak bidang lainnya: senang memelihara tanaman, melakukan kerja pertukangan, rajin olah raga terutama kung fu dan yoga, dan juga senang memasak. Majalah Trubus dalam salah satu penerbitannya pernah menyajikan resep pepes ikan mas kesukaan Pak Mochtar. Salah satu bumbunya adalah minyak jelantah bekas menggoreng ikan asin.

Kalangan sesepuh pers di negeri ini menjuluki Pak Mochtar sebagai granit. Julukan tersebut tidak berlebihan, karena memang sulit mencari tokoh pers lain yang memiliki keberanian seperti beliau. Koran yang dipimpinnya, Indonesia Raya selalu dianggap tidak bersahabat oleh dua rezim yang pernah mendominasi kekuasaan di Indonesia. Baik di masa Soekarno maupun di zaman Soeharto, Indonesia Raya pernah dilarang terbit. Bagi Pak Mochtar sendiri tampaknya Indonesia Raya itu mewakili semangat kemerdekaan bangsanya yang tidak boleh kendur.

Tidak mudah mengalahkan semangat yang terus menggelora di dalam jiwa Pak Mochtar. Ia selalu disiplin dalam keadaan apa pun. Kata Ajip Rosidi yang mengenalnya cukup lama, Pak Mochtar tetap bermain tenis secara rutin selama berada dalam tahanan. Catatan Subversi yang ia tulis di dalam kurungan menunjukkan betapa jiwanya tetap tegar dan bebas. Bagi Pak Mochtar istilah kompromi tampaknya bukan pilihannya, berbeda dengan tokoh-tokoh Indonesia sekarang yang memandang sikap tersebut sebagai pilhan yang sangat dimuliakan.

Selain di bidang jurnalistik, sumbangan Pak Mochtar di bidang sastra tidaklah kecil. Mungkin karena darah jurnalistiknya yang kental, karya-karya Pak Mochtar hampir selalu mewakili kondisi sosialnya sendiri. Jalan tak Ada Ujung, yang merupakan salah satu novel masa awalnya, hampir secara utuh mencoba merekam kondisi zaman saat itu, periode awal kemerdekaan Indonesia di mana muncul berbagai krisis sosial. Salah satu yang disorotinya secara tajam adalah bidang pendidikan. Bagi orang seperti Pak Mochtar, pendidikan adalah salah satu bidang paling penting yang akan menentukan masa depan sebuah bangsa. Jika pendidikan kacau, maka manusia serta masyarakat yang dihasilkannya pun akan demikian pula.

Pak Mochtar sangat beruntung karena di masa kecilnya ia menempuh pendidikan di sekolah yang baik, di mana selain memberikan pelajaran umum juga memberikan bekal keterampilan kepada siswa-siswanya. Selain itu ada pula pendidikan untuk mencintai lingkungan. Hal itu tampak dengan jelas dalam karyanya Berkelana dalam Rimba. Ceritanya sendiri dibuat sebagai cerita untuk anak-anak. Namun novel tersebut menunjukkan betapa penulisnya sangat mengetahui kekayaan yang terkandung di dalam rimba. Dengan penuturannya yang khas, pembaca diajak untuk mencintai alam, karena di sana tersimpan berbagai jenis ciptaan Tuhan yang sangat mengagumkan di samping juga memberikan manfaat yang tidak ternilai.

Dalam menulis novel Pak Mochtar tampaknya sangat diilhami (atau didorong?) oleh kondisi sosial di sekelilingnya. Hal seperti itu memang umum dilakukan oleh sastrawan sezamannya. Tokoh-tokoh yang diangkat oleh Achdiat K. Mihardja dalam Atheis sebagian mengambil model dari tokoh yang benar-benar dikenal oleh penulisnya dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga yang dilakukan Ramadhan KH dalam novel Ladang Perminus.

Senja di Jakarta sempat menarik perhatian yang cukup luas, karena novel Pak Mochtar tersebut lebih dulu terbit dalam edisi bahasa Inggris. Edisi Indonesianya menyusul kemudian. Hal itu disebabkan karena kondisi sosial politik dalam negeri yang tidak memungkinkan. Setelah peta politik berubah barulah novel tersebut bisa dibaca lebih luas oleh bangsanya sendiri.

Sebagai seorang intelektual yang rasional, Pak Mochtar sering menitipkan sikapnya tersebut dalam novel-novelnya. Tokoh-tokoh dalam beberapa novelnya sering memperhadapkan antara tokoh yang rasional dengan tokoh lain yang masih percaya pada hal-hal yang tidak rasional atau mistis. Sebagai kelahiran Sumatera Barat, Pak Mochtar memiliki keringanan dalam melakukan keberpihakan terhadap tokoh-tokohnya tersebut. Berbeda misalnya dengan para sastrawan yang berasal dari Jawa, di mana aroma mistik tidak bisa dienyahkan begitu saja.

Sikap dan jalan pikiran Pak Mochtar seperti itu tampak dengan jelas dalam bukunya yang tipis tapi menarik, Manusia Indonesia. Dalam risalahnya itu ia mencoba mengurai berbagai ciri manusia Indonesia. Tinjauannya sangat tajam, sehingga bagi sebagian orang karya Pak Mochtar itu dianggap berat sebelah, terlalu melihat yang negatifnya, sementara sisi positifnya hanya disinggung selintas-selintas saja. Namun pada awal terbitnya, buku tersebut sangat diminati oleh masyarakat. Sampai akhirnya Masagung sebagai penerbitnya menganggap penting untuk menerbitkan buku-buku sejenis lainnya, antara lain Manusia Sunda yang penulisannya dipercayakan kepada Ajip Rosidi.

Novel-novel dan karya-karya lain yang ditulis oleh Pak Mochtar sekarang sudah akan menjadi klasik. Adapun Pak Mochtar, yang sekarang sudah meninggalkan kita semua, tentu akan merasa bahagia jika karya-karyanya itu akan menjadi kajian terus-menerus. Memahami watak serta kepribadian manusia Indonesia, antara lain bisa memanfaatkan karya-karya sastra. Dan tokoh-tokoh yang diciptakan oleh Pak Mochtar dalam novel-novelnya adalah rekaman atau model dari manusia Indonesia pada masanya. (Abdullah Mustappa)***