Lubis Tak Cuma Menggertak (Gatra)

Majalah Berita Mingguan GATRA
Edisi : 9 September 1995 ( No.43/ I )
Rubrik : Nasional

MAGSAYSAY

Lubis Tak Cuma Menggertak

Mochtar Lubis mengembalikan Hadiah Magsaysay. Kasus Pramoedya
didukung di Jakarta, ditentang di Filipina.

ANCAMAN budayawan dan sastrawan Mochtar Lubis untuk mengembalikan
Hadiah Magsaysay yang diterimanya tahun 1958 tak cuma gertak
sambal. Dalam suasana serba salah di kantor pusat Yayasan Ramon
Magsaysay di Manila, Filipina, Rabu pekan lalu, Ketua Yayasan
Ramon Magsaysay, Bienvenido A. Tan, menerima pengembalian itu.

Mochtar tampak tersenyum lebar ketika memulangkan medali
bergambar almarhum Presiden Ramon Magsaysay yang sekitar 37 tahun
disimpannya. Pada kesempatan yang sama, Mochtar menyerahkan pula
US$ 1.000, sebagai angsuran pertama US$ 5.000, hadiah uang yang
pernah diterimanya dari Yayasan Magsaysay. Sisanya akan
dibayarnya bertahap.

Bienvenido menerima semua pengembalian itu dengan senyum tertahan
dan pandangan kecewa. Mochtar tampaknya mengerti bagaimana
perasaan Bienvenido. Maka dengan mencoba tetap tersenyum ramah,
ia mengucapkan sambutan singkat yang menghibur di hadapan sekitar
40 hadirin, belum termasuk wartawan. “Saya mengembalikan
penghargaan ini dengan berat hati, karena saya sangat menghargai
dan menghormati Presiden Ramon Magsaysay. Tapi justru karena
menghargai dan mencintai beliau saya merasa berkewajiban
mengembalikan penghargaan ini,” begitu ujar Mochtar seperti
dikutip Manila Bulletin, 31 Agustus silam. Bienvenido menjawab,
“Kami juga tak ingin melakukan semua ini. Apa yang terjadi di
antara kita semata-mata hanyalah perbedaan pendapat,” tutur
Bienvenido.

Itulah puncak drama seniman yang dalam beberapa minggu terakhir
menjadi bahan perdebatan. Seperti diberitakan media massa, Juli
silam, Yayasan Magsaysay mengumumkan akan memberikan Hadiah
Magsaysay kepada empat tokoh Asia. Satu di antaranya Pramoedya
Ananta Toer, bekas tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang
dibentuk Partai Komunis Indonesia (PKI) di zaman Orde Lama.

Yayasan Magsaysay menyebut Pramoedya sebagai sastrawan dan
wartawan yang tak henti-hentinya membuahkan karya yang
berkualitas. Perburuan, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Nyanyi
Sunyi Seorang Bisu, dan sejumlah karya Pram lainnya, menurut
Yayasan Magsaysay, menunjukkan konsistensi dan keprihatinannya
yang mendalam terhadap penderitaan manusia di tengah perang,
pergolakan, dan kemiskinan yang parah.

Mendengar pengumuman Yayasan Magsaysay tersebut, permulaan
Agustus lalu, tak kurang dari 26 seniman dan budayawan terkemuka
Indonesia mengeluarkan pernyataan keras. Mereka antara lain H.B.
Jassin, Wiratmo Soekito, Taufiq Ismail, D.S. Moeljanto, Bokor
Hutasuhut, dan Mochtar Lubis.

Isi pernyataan itu memang tak secara ekplisit mendesak Yayasan
Magsaysay untuk membatalkan keputusan memberi hadiah kepada Pram.
Mereka hanya mendakwa yayasan telah melupakan peran tak terpuji
Pram di zaman Demokrasi Tepimpin pada tahun 1960-an, tatkala
tokoh Lekra ini terlibat memasung gerakan untuk memperjuangkan
kebebasan kreatif. Umpamanya Pram mengelu-elukan pembakaran buku
karya lawan-lawannya di Jakarta dan Surabaya. “Rasanya sangat
ironis bila dengan keputusan tersebut Pramoedya duduk sebangku
dengan pemenang Magsaysay Mochtar Lubis dan H.B. Jassin,”
demikian sebagian bunyi pernyataan itu.

Tak lupa mereka menjelaskan sosok Mochtar sebagai pejuang
kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia tulen. Begitu pula
H.B. Jassin. Di akhir pernyataan itu mereka menilai, dengan
memberikan hadiah kepada Pram, Yayasan Magsaysay mendukung tindak
penindasan kebebasan kreatif. Mochtar sendiri meluncurkan
ancaman. “Jika hadiah itu tetap diberikan kepada Pram, saya akan
mengembalikan Hadiah Magsaysay yang pernah saya terima,” katanya.

Pada akhirnya keputusan Yayasan Magsaysay tak berubah, meski
mengaku memahami ketidakpuasan 26 seniman Indonesia. “Kami tahu
Pramoedya adalah seniman Lekra, tapi ia sudah membayar mahal
dengan mendekam 15 tahun di Pulau Buru. Tapi alasan utama mengapa
kami memberikan hadiah kepada Pram adalah karena melihat kualitas
karya-karyanya,” demikian kata Bienvenido ketika dihubungi lewat
telepon oleh Akmal Nasery dari Gatra

Kamis pekan lalu _ sehari setelah Mochtar mengembalikan hadiahnya
_ istri Pram, Maemunah Thamrin, mewakili suaminya untuk menerima
medali dan uang US$ 50.000 (lebih dari Rp 100 juta) dari Yayasan
Magsaysay. Acara penyerahan itu berlangsung di gedung Pusat
Kebudayaan Filipina, Manila, disaksikan sekitar 500 hadirin.
Pram
sendiri tak bisa hadir karena tak memperoleh paspor.

Di Jakarta, peristiwa pemberian hadiah untuk Pram itu mendapat
dukungan lebih dari 150 orang dari berbagai profesi, antara lain
Bintang Pamungkas, Sukmawati Soekarnoputeri, Marianne Katoppo,
Ariel Heryanto, dan Nirwan Dewanto. Nama lainnya kurang dikenal,
mungkin terdiri dari anak muda yang lahir setelah tahun 1965.
Tanggal 30 Agustus _ persis ketika Mochtar mengembalikan
hadiahnya _ mereka membuat pernyataan mendukung Pram. Alasannya,
antara lain, karya Pram telah memperkaya kehidupan intelektual
dan kebudayaan Indonesia.

Tapi sebaliknya di Filipina, sejumlah penulis dan budayawan
setempat, justru mengecam keputusan Yayasan Magsaysay. Misalnya
F. Sionil Jose (penulis) dan Belen Abreu (bekas komisaris
eksekutif Yaysan Magsaysay). Jose yang pernah berada di Indonesia
pada tahun 1960-an mengaku tahu persis latar belakang Pramoedya.
“Ia bertanggung jawab atas dipenjarakannya penulis-penulis
Indonesia yang bertentangan dengannya,” kata Jose, yang
diwawancarai wartawan Filipina.

(Priyono B. Sumbogo dan Akmal Nasery Basral)